Peran Budaya Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Thursday, March 15, 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANGIstilah kurikulum tidaklah baru lagi dalam konteks pendidikan. Di Indonesia, kurikulum yang pernah ditetapkan oleh Pemerintah dan diterapkan oleh seluruh lembaga pendidikan telah silih berganti seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 yang baru saja di nonaktifkan.
Penyusunan
kurikulum ini tentu melalui proses yang panjang dan dengan mempertimbangkan
banyak hal mengingat negara Indonesia termasuk negara yang terdiri dari beragam
corak kebudayaan pada masyarakatnya. Namun, sudah barang pasti bahwa dalam
proses tersebut terdapat hal-hal mendasar yang dijadikan landasan oleh
pemerintah dalam merumuskan kurikulum pendidikan sebagai alat yang dijadikan
pegangan dan pedoman dalam penyelengaraan sistem pendidikan di Indonesia ini.
Berdasarkan hal
tersebut, sangat diperlukan adanya pembahasan secara mendalam terkait dengan
hubungan kebudayaan Indonesia dan penyusunan juga pengembangan kurikulum
pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kebudayaan melandasi kurikulum
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kurikulum
Pada tahun
1856, kata kurikulum digunakan dalam bidang olah raga yang berarti jarak yang
harus ditempuh oleh pelari. Kemudian, pada tahun 1955, kata kurikulum ini
khusus digunakan dalam bidang pendidikan yang artinya adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai tingkat tertentu atau ijazah.
Pandangan ini sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani Kuno.[1]
Berkembangnya
teknologi pada dewasa ini menyebabkan bergesernya makna kurikulum. Kurikulum
dianggap sebagai pengalaman belajar siswa yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan
oleh siswa di dalam maupun di luar sekolah di bawah tanggung jawab guru atau
sekolah. Sehingga, menurut pandangan ini keberhasilan pelaksanaan kurikulum
tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai materi pelajaran tetapi
dilihat juga proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.[2]
Berbeda dengan
pandangan-pandangan di atas, beberapa ahli yang termasuk di dalamnya adalah Mac
Donald memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran yang
memberi pedoman atau pegangan dalam proses pelaksanaannya. Menurutnya sistem
persekolahan terbentuk atas 4 subsistem, yaitu:
1.
Mengajar,
merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru.
2.
Belajar,
merupakan kegiatan yang dilakukan siswa sebagai respon dari kegiatan mengajar
yang diberikan oleh guru.
3.
Pembelajaran,
merupakan seluruh pertautan kegiatan yang berkenaan dengan terjadinya interaksi
belajar mengajar.
4.
Kurikulum,
merupakan suatu rencana yang memberi pedoman dalam kegiatan belajar mengajar.[3]
Konsep kurikulum
sebagai rencana sejalan dengan rumusan kurikulum menurut undang-undang
pendidikan kita yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dikatakan
bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar. Isi dan bahan pelajaran yang dimaksud disini adalah
susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyalenggaraan
satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan
pendidikan nasional.[4]
Berdasarkan
seluruh paparan terkait konsep kurikulum di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa kurikulum itu mencakup maksud, tujuan, isi, proses, sumber daya dan
sarana-sarana evaluasi bagi semua pengalaman belajar yang direncanakan bagi
para pembelajar baik di dalam maupun di luar sekolah dan masyarakat melalui
pengajaran kelas dan program-program terkait.[5]
B.
Kebudayaan
Pada hakikatnya
setiap bangsa di dunia ini memiliki peradaban masing-masing. Definisi peradaban
memang bermacam-macam. Frederick Hertz menyatakan bahwa peradaban dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu istilah peradaban digunakan untuk masyarakat primitif
yang menggambarkan tradisi, minat dan cita-cita masyarakat tersebut. Sedangkan
aspek lainnya adalah dimana istilah peradaban diartikan sebagai fase
perkembangan kebudayaan yang maju. Goldenweiser menafsirkan bahwasanya istilah
peradaban dan kebudayaan adalah sinonim karena pada kenyataannya masyarakat
tidak pernah berhenti berkembang dan selalu berubah dan pada saat yang sama
kebudayaan menjiwai masyarakat tersebut sepanjang zaman.[6]
Para ahli
memberikan pendapatnya tentang definisi kebudayaan. Menurut Taylor, kebudayaan
adalah totalitas yang komplek yang mencakup pada pengetahuan, kepercayaan,
seni, hukum, moral, adab, kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh
seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Hassan kurang setuju dengan hal
ini karena kebudayaan bukanlah produk perseorangan. Ia menuturkan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi
aksi-aksi terhadap manusia dan oleh mereka sendiri sebagai anggota masyarakat
yang merupakam kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat
dan lain-lain kepandaian. Dan Kneller mendefinisikan kebudayaan sebagai cara
hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.[7]
Dari konsep
awal tadi yang menyatakan bahwa peradaban dan kebudayaan adalah sinonim tetap
terdapat perbedaan antara keduanya. dalam arti yang paling sempit, kebudayaan
dipandang sabagai unsur yang abstrak, tidak dapat diamati dengan panca indera
dan bersifat nonmaterial seperti cita-cita, kepercayaan, nilai, sikap dan pola
kelakuan. Sedangkan benda-benda material merupakan produksi dari kebudayaan, bukanlah
kebudayaan itu sendiri yang berposisi sebagai alat untuk menguasai dan mengubah
alam kepentingan manusia.[8]
Dari semua
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah suatu hal yang
mencakup semua cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia
itu sebagai warga masyarakat.[9]
Dengan begitu,
didapatkanlah hasil tentang komponen-komponen dari kebudayaan, yaitu:
1.
Gagasan
2.
Ideologi
3.
Norma
4.
Teknologi
5.
Benda
6.
Kesenian
7.
Ilmu
8.
Kepandaian[10]
Kebudayaan
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1.
Kebudayaan
umum, semisal kebudayaan Indonesia
2.
Kebudayaan
daerah, semisal kebudayaan Bali, Jawa, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya
3.
Kebudayaan
populer, yakni kebudayaan yang mana masa berlakunya relatif lebih pendek.
Misalnya lagu-lagu populer, model film musiman, mode-mode pakaian dan
sebagainya.
Ketiga kebudayaan
ini patut diajarkan di sekolah namun porsinya harus disesuaikan dengan waktu
dan tempatnya. Kebudayaan umum harus diajarkan pada semua sekolah. Sementara
kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan muatan lokal sehingga porsi
pengajarannya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Dan kebudayaan populer
mempunyai porsi paling kecil dalam pengajaran karena peserta didik pasti
menyukainya ketika kebudayaan ini mencuat.[11]
Oleh karena
itu, peran kurikulumlah yang diharapkan dapat memelihara kebudayaan melalui
penyelenggaraan sistem pendidikan yang direncanakan dan disusun sedemikian rupa
agar relevan dengan objek pendidikan yakni para generasi masyarakat.
C.
Kebudayaan Sebagai Landasan Kurikulum
Setelah
pembahasan atas masing-masing dari kurikulum dan kebudayaan dipahami, akan
diketahui hubungan dari keduanya secara lebih lanjut.
Kurikulum
dipandang sebagai rancangan pendidikan yang menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan yang mana telah diketahuai bahwa pendidikan mempersiapkan generasi
bangsa untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai untuk hidup di masyarakat. Kehidupam masyarakat
dengan segala karakteristik dan kebudayaannya menjadi landasan dan acuan bagi
pendidikan.[12]
Landasan
pengembangan kurikulum, dalam bahasan ini adalah kebudayaan seperti fondasi
sebuah bangunan. Oleh karenanya, agar bangunan itu dapat berdiri menjulang
tinggi harus dibangun di atas fondasi yang kuat dan kokoh. Kesalahan dalam
membangun fondasi akan membuat bangunan yang berdiri di atasnya tidak maksimal.
Begitu juga dengan kurikulum, jika dalam penyusunan dan perumusannya terdapat
kesalahan, maka akan mengakibatkan kesalahan dalam menentukan kebijakan dan
implementasi pendidikan.[13]
Dalam mengambil
keputusan tentang kurikulum pendidikan, para pengembang harus mempertimbangkan
kondisi riil yang ada di masyarakat dan keberagaman budaya atau
multikulturalismenya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat adalah
kumpulan individu yang hidup bersama di tempat tertentu yang saling berhubungan
baik masalah kenegaraan, kemasyarakatan, perekonomian, pilitik maupun
keruhanian. Setiap masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-aturan, cita-cita
yang ingin dicapai, dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kemampuannya
walaupun tiap masyarakat pasti memiliki kesulitan masing-masing dalam melakukan
hal tersebut. Pendidikan harus dapat memberikan solusi atas tekanan dan desakan
dari kekuatan-kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan dihadapi pada saat
tertentu oleh masyarakat.[14]
Dari segi ini,
pendidikan mempunyai fungsi bagi kepentingan masyarakat antara lain:
1.
Mengadakan
perbaikan bahkan perombakan sosial
2.
Mempertahankan
kebebasan akademis dan kebebasan mengadakan penelitian
3.
Mendukung
pembangunan nasional
4.
menyampaikan
kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
5.
Mewujudkan
revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh pemerintah terdahulu
6.
Menyebarluaskan
falsafah, politik dan kepercayaan tertentu
7.
Mempercepat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
8.
Memberikan
keterampilan pokok serta keterampilan hidup[15]
Tiap
kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan dan kebutuhan masyarakat
Pada
Undang-undang pasal 32 ayat 1 terkandung maksud memajukan budaya nasional serta
memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengembangkannya. Dan ayat 2
menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian
dari budaya nasional.[16]
Dasar ini
menguatkan bahwasanya pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan yang mana
telah diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil dari budi daya manusia.
Kebudayaan akan berkembang jika budi daya manusia meningkat dan budi daya
manusia ini bisa dikembangkan kemampuannya melalui pendidikan. Kebudayaan dan
pendidikan bersifat saling mendukung satu sama lain karena aspek-aspek
kebudayaan akan mendukung program dan pelaksanaan pendidikan.[17]
Manfaat sekolah
atau pendidikan bagi masyarakat antara lain:
1.
Pendidikan
sebagai transmisi budaya dan pelestari budaya
2.
Sekolah
bagi pusat budaya bagi masyarakat sekitarnya
3.
Sekolah
mengembangkan kepribadian anak di samping oleh keluarga
4.
Pendidikan
membuat seseorang menjadi warga negara yang baik dan tahu akan hak dan
kewajibannya
5.
Pendidikan
meningkatkan kemampuan analisa kritis melalui pelajaran ilmu, teknologi dan
kesenian
6.
Sekolah
meningkatkan alat kontrol sosial dengan memberikan pendidikan agama dan budi
pekerti
7.
Sekolah
membantu pemecahan masalah sosial
8.
Pendidikan
sebagai perubah sosial melalui kebudayaan-kebudayaan baru
9.
Pendidikan
berfungsi sebagai seleksi dan alokasi tenaga kerja
10. Pendidikan dapat memodifikasi hierarki ekonomi masyarakat
11. Sekolah membantu pemecahan masalah dekadensi dan yang
melatarbelakangi[18]
Sosial budaya merupakan faktor penting yang melandasi penyusunan
kurikulum yang relevan karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan
sistem pendidikan sebagai salah satu dimensi kebudayaan. Implikasi dasarnya
adalah:
1.
Kurikulum
harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat dalam semua dimensi
kebudayaannya seperti kehidupan keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan
sebagainya.
2.
Penyusunan
kurikulum harus memperhatikan unsur fleksibilitas dan bersifat dinamis agar
kurikulum yang disusun relevan dengan kondisi masyarakat karena kondisi sosial
budaya masyarakat senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan
masyarakat tersebut.
3.
Program
kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat
sebagai salah satu usaha mengawetkan kebudayaan masayarakat itu sendiri.
4.
kurikulum
yang ada di sekolah-sekolah harus disusun berdasarkan kebudayaan nasional yang
berlandaskan pada falsafah pancasila yang mencakup kebudayaan daerah.[19]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurutnya
sistem persekolahan terbentuk atas 4 subsistem, yaitu:
1.
Mengajar,
merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru.
2.
Belajar,
merupakan kegiatan yang dilakukan siswa sebagai respon dari kegiatan mengajar
yang diberikan oleh guru.
3.
Pembelajaran,
merupakan seluruh pertautan kegiatan yang berkenaan dengan terjadinya interaksi
belajar mengajar.
4.
Kurikulum,
merupakan suatu rencana yang memberi pedoman dalam kegiatan belajar mengajar
Komponen-komponen
dari kebudayaan, yaitu: Gagasan, Ideologi, Norma, Teknolog, Benda, Kesenian, Ilmu
dan Kepandaian. Sedabgakan Kebudayaan dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: satu,
Kebudayaan umum, semisal kebudayaan Indonesia, kedua, Kebudayaan daerah, semisal
kebudayaan Bali, Jawa dan ketiga, Kebudayaan populer, yakni kebudayaan yang
mana masa berlakunya relatif lebih pendek. Misalnya lagu-lagu populer, model
film musiman, mode-mode pakaian dan sebagainya.
Kurikulum
dipandang sebagai rancangan pendidikan yang menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan yang mana telah diketahuai bahwa pendidikan mempersiapkan generasi
bangsa untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai untuk hidup di masyarakat. Kehidupam masyarakat
dengan segala karakteristik dan kebudayaannya menjadi landasan dan acuan bagi
pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum, Konsep
Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta: Teras, 2009).
Wina Sanjaya, Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011).
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009).
Henry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa (Bandung:
Angkasa, 2009).
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2008).
Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007).
Binti Maunah, Landasan Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009).
[1] Muhammad
Zaini, Pengembangan Kurikulum, Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi
(Yogyakarta: Teras, 2009), hal 1-2.
[2] Wina Sanjaya,
Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 6-7.
[3] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009), hal 5.
[4] Ibid, hal 8.
[5] Henry Guntur
Tarigan, Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa (Bandung: Angkasa, 2009), hal 4-5.
[6] Oemar Hamalik,
Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal
83-84.
[7] Made Pidarta, Landasan
Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2007), hal 164-165.
[8] Oemar Hamalik,
Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal
85.
[9] Made Pidarta,
Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2007), hal 165.
[10] Made Pidarta,
Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2007), hal 165.
[11] Ibid, hal 166.
[12] Nana Syaodih Sukmadinata,
Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), hal 58.
[13] Wina Sanjaya,
Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 31.
[14]Muhammad Zaini,
Pengembangan Kurikulum, Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta:
Teras, 2009), hal 45.
[15] Ibid, hal 46.
[16] Made Pidarta,
Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2007), hal 44.
[17] Made Pidarta,
Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2007), hal 44-45.
[18] Binti Maunah,
Landasan Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009), 74-75.
[19] Oemar Hamalik,
Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal
102-103.