Peran Budaya Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN 
A. LATARBELAKANG
Istilah kurikulum tidaklah baru lagi dalam konteks pendidikan. Di Indonesia, kurikulum yang pernah ditetapkan oleh Pemerintah dan diterapkan oleh seluruh lembaga pendidikan telah silih berganti seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 yang baru saja di nonaktifkan.
Penyusunan kurikulum ini tentu melalui proses yang panjang dan dengan mempertimbangkan banyak hal mengingat negara Indonesia termasuk negara yang terdiri dari beragam corak kebudayaan pada masyarakatnya. Namun, sudah barang pasti bahwa dalam proses tersebut terdapat hal-hal mendasar yang dijadikan landasan oleh pemerintah dalam merumuskan kurikulum pendidikan sebagai alat yang dijadikan pegangan dan pedoman dalam penyelengaraan sistem pendidikan di Indonesia ini.
Berdasarkan hal tersebut, sangat diperlukan adanya pembahasan secara mendalam terkait dengan hubungan kebudayaan Indonesia dan penyusunan juga pengembangan kurikulum pendidikan.  

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kebudayaan melandasi kurikulum

BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Kurikulum
Pada tahun 1856, kata kurikulum digunakan dalam bidang olah raga yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kemudian, pada tahun 1955, kata kurikulum ini khusus digunakan dalam bidang pendidikan yang artinya adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai tingkat tertentu atau ijazah. Pandangan ini sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani Kuno.[1]
Berkembangnya teknologi pada dewasa ini menyebabkan bergesernya makna kurikulum. Kurikulum dianggap sebagai pengalaman belajar siswa yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa di dalam maupun di luar sekolah di bawah tanggung jawab guru atau sekolah. Sehingga, menurut pandangan ini keberhasilan pelaksanaan kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai materi pelajaran tetapi dilihat juga proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.[2]
Berbeda dengan pandangan-pandangan di atas, beberapa ahli yang termasuk di dalamnya adalah Mac Donald memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses pelaksanaannya. Menurutnya sistem persekolahan terbentuk atas 4 subsistem, yaitu:
1.      Mengajar, merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru.
2.      Belajar, merupakan kegiatan yang dilakukan siswa sebagai respon dari kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru.
3.      Pembelajaran, merupakan seluruh pertautan kegiatan yang berkenaan dengan terjadinya interaksi belajar mengajar.
4.      Kurikulum, merupakan suatu rencana yang memberi pedoman dalam kegiatan belajar mengajar.[3]
Konsep kurikulum sebagai rencana sejalan dengan rumusan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi dan bahan pelajaran yang dimaksud disini adalah susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyalenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.[4]
Berdasarkan seluruh paparan terkait konsep kurikulum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kurikulum itu mencakup maksud, tujuan, isi, proses, sumber daya dan sarana-sarana evaluasi bagi semua pengalaman belajar yang direncanakan bagi para pembelajar baik di dalam maupun di luar sekolah dan masyarakat melalui pengajaran kelas dan program-program terkait.[5]
 
B.     Kebudayaan
Pada hakikatnya setiap bangsa di dunia ini memiliki peradaban masing-masing. Definisi peradaban memang bermacam-macam. Frederick Hertz menyatakan bahwa peradaban dapat dilihat dari dua aspek, yaitu istilah peradaban digunakan untuk masyarakat primitif yang menggambarkan tradisi, minat dan cita-cita masyarakat tersebut. Sedangkan aspek lainnya adalah dimana istilah peradaban diartikan sebagai fase perkembangan kebudayaan yang maju. Goldenweiser menafsirkan bahwasanya istilah peradaban dan kebudayaan adalah sinonim karena pada kenyataannya masyarakat tidak pernah berhenti berkembang dan selalu berubah dan pada saat yang sama kebudayaan menjiwai masyarakat tersebut sepanjang zaman.[6]
Para ahli memberikan pendapatnya tentang definisi kebudayaan. Menurut Taylor, kebudayaan adalah totalitas yang komplek yang mencakup pada pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adab, kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Hassan kurang setuju dengan hal ini karena kebudayaan bukanlah produk perseorangan. Ia menuturkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi terhadap manusia dan oleh mereka sendiri sebagai anggota masyarakat yang merupakam kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain kepandaian. Dan Kneller mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.[7]
Dari konsep awal tadi yang menyatakan bahwa peradaban dan kebudayaan adalah sinonim tetap terdapat perbedaan antara keduanya. dalam arti yang paling sempit, kebudayaan dipandang sabagai unsur yang abstrak, tidak dapat diamati dengan panca indera dan bersifat nonmaterial seperti cita-cita, kepercayaan, nilai, sikap dan pola kelakuan. Sedangkan benda-benda material merupakan produksi dari kebudayaan, bukanlah kebudayaan itu sendiri yang berposisi sebagai alat untuk menguasai dan mengubah alam kepentingan manusia.[8]
Dari semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah suatu hal yang mencakup semua cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia itu sebagai warga masyarakat.[9]
Dengan begitu, didapatkanlah hasil tentang komponen-komponen dari kebudayaan, yaitu:
1.      Gagasan
2.      Ideologi
3.      Norma
4.      Teknologi
5.      Benda
6.      Kesenian
7.      Ilmu
8.      Kepandaian[10]
Kebudayaan dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Kebudayaan umum, semisal kebudayaan Indonesia
2.      Kebudayaan daerah, semisal kebudayaan Bali, Jawa, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya
3.      Kebudayaan populer, yakni kebudayaan yang mana masa berlakunya relatif lebih pendek. Misalnya lagu-lagu populer, model film musiman, mode-mode pakaian dan sebagainya.
Ketiga kebudayaan ini patut diajarkan di sekolah namun porsinya harus disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Kebudayaan umum harus diajarkan pada semua sekolah. Sementara kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan muatan lokal sehingga porsi pengajarannya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Dan kebudayaan populer mempunyai porsi paling kecil dalam pengajaran karena peserta didik pasti menyukainya ketika kebudayaan ini mencuat.[11]
Oleh karena itu, peran kurikulumlah yang diharapkan dapat memelihara kebudayaan melalui penyelenggaraan sistem pendidikan yang direncanakan dan disusun sedemikian rupa agar relevan dengan objek pendidikan yakni para generasi masyarakat. 
C.    Kebudayaan Sebagai Landasan Kurikulum
Setelah pembahasan atas masing-masing dari kurikulum dan kebudayaan dipahami, akan diketahui hubungan dari keduanya secara lebih lanjut.
Kurikulum dipandang sebagai rancangan pendidikan yang menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan yang mana telah diketahuai bahwa pendidikan mempersiapkan generasi bangsa untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai untuk hidup di masyarakat. Kehidupam masyarakat dengan segala karakteristik dan kebudayaannya menjadi landasan dan acuan bagi pendidikan.[12]
Landasan pengembangan kurikulum, dalam bahasan ini adalah kebudayaan seperti fondasi sebuah bangunan. Oleh karenanya, agar bangunan itu dapat berdiri menjulang tinggi harus dibangun di atas fondasi yang kuat dan kokoh. Kesalahan dalam membangun fondasi akan membuat bangunan yang berdiri di atasnya tidak maksimal. Begitu juga dengan kurikulum, jika dalam penyusunan dan perumusannya terdapat kesalahan, maka akan mengakibatkan kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan.[13]
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum pendidikan, para pengembang harus mempertimbangkan kondisi riil yang ada di masyarakat dan keberagaman budaya atau multikulturalismenya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup bersama di tempat tertentu yang saling berhubungan baik masalah kenegaraan, kemasyarakatan, perekonomian, pilitik maupun keruhanian. Setiap masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-aturan, cita-cita yang ingin dicapai, dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kemampuannya walaupun tiap masyarakat pasti memiliki kesulitan masing-masing dalam melakukan hal tersebut. Pendidikan harus dapat memberikan solusi atas tekanan dan desakan dari kekuatan-kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan dihadapi pada saat tertentu oleh masyarakat.[14]
Dari segi ini, pendidikan mempunyai fungsi bagi kepentingan masyarakat antara lain:
1.      Mengadakan perbaikan bahkan perombakan sosial
2.      Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan mengadakan penelitian
3.      Mendukung pembangunan nasional
4.      menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
5.      Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh pemerintah terdahulu
6.      Menyebarluaskan falsafah, politik dan kepercayaan tertentu
7.      Mempercepat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
8.      Memberikan keterampilan pokok serta keterampilan hidup[15]
Tiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan dan kebutuhan masyarakat
Pada Undang-undang pasal 32 ayat 1 terkandung maksud memajukan budaya nasional serta memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengembangkannya. Dan ayat 2 menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari budaya nasional.[16]
Dasar ini menguatkan bahwasanya pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan yang mana telah diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil dari budi daya manusia. Kebudayaan akan berkembang jika budi daya manusia meningkat dan budi daya manusia ini bisa dikembangkan kemampuannya melalui pendidikan. Kebudayaan dan pendidikan bersifat saling mendukung satu sama lain karena aspek-aspek kebudayaan akan mendukung program dan pelaksanaan pendidikan.[17]  
Manfaat sekolah atau pendidikan bagi masyarakat antara lain:
1.      Pendidikan sebagai transmisi budaya dan pelestari budaya
2.      Sekolah bagi pusat budaya bagi masyarakat sekitarnya
3.      Sekolah mengembangkan kepribadian anak di samping oleh keluarga
4.      Pendidikan membuat seseorang menjadi warga negara yang baik dan tahu akan hak dan kewajibannya
5.      Pendidikan meningkatkan kemampuan analisa kritis melalui pelajaran ilmu, teknologi dan kesenian
6.      Sekolah meningkatkan alat kontrol sosial dengan memberikan pendidikan agama dan budi pekerti
7.      Sekolah membantu pemecahan masalah sosial
8.      Pendidikan sebagai perubah sosial melalui kebudayaan-kebudayaan baru
9.      Pendidikan berfungsi sebagai seleksi dan alokasi tenaga kerja
10.  Pendidikan dapat memodifikasi hierarki ekonomi masyarakat
11.  Sekolah membantu pemecahan masalah dekadensi dan yang melatarbelakangi[18]
Sosial budaya merupakan faktor penting yang melandasi penyusunan kurikulum yang relevan karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan sebagai salah satu dimensi kebudayaan. Implikasi dasarnya adalah:
1.      Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat dalam semua dimensi kebudayaannya seperti kehidupan keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya.
2.      Penyusunan kurikulum harus memperhatikan unsur fleksibilitas dan bersifat dinamis agar kurikulum yang disusun relevan dengan kondisi masyarakat karena kondisi sosial budaya masyarakat senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan masyarakat tersebut.
3.      Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat sebagai salah satu usaha mengawetkan kebudayaan masayarakat itu sendiri.
4.      kurikulum yang ada di sekolah-sekolah harus disusun berdasarkan kebudayaan nasional yang berlandaskan pada falsafah pancasila yang mencakup kebudayaan daerah.[19]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurutnya sistem persekolahan terbentuk atas 4 subsistem, yaitu:
1.    Mengajar, merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru.
2.    Belajar, merupakan kegiatan yang dilakukan siswa sebagai respon dari kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru.
3.    Pembelajaran, merupakan seluruh pertautan kegiatan yang berkenaan dengan terjadinya interaksi belajar mengajar.
4.    Kurikulum, merupakan suatu rencana yang memberi pedoman dalam kegiatan belajar mengajar
Komponen-komponen dari kebudayaan, yaitu: Gagasan, Ideologi, Norma, Teknolog, Benda, Kesenian, Ilmu dan Kepandaian. Sedabgakan Kebudayaan dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: satu, Kebudayaan umum, semisal kebudayaan Indonesia, kedua, Kebudayaan daerah, semisal kebudayaan Bali, Jawa dan ketiga, Kebudayaan populer, yakni kebudayaan yang mana masa berlakunya relatif lebih pendek. Misalnya lagu-lagu populer, model film musiman, mode-mode pakaian dan sebagainya.
Kurikulum dipandang sebagai rancangan pendidikan yang menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan yang mana telah diketahuai bahwa pendidikan mempersiapkan generasi bangsa untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai untuk hidup di masyarakat. Kehidupam masyarakat dengan segala karakteristik dan kebudayaannya menjadi landasan dan acuan bagi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum, Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta: Teras, 2009).
Wina Sanjaya, Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011).
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009).
Henry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa (Bandung: Angkasa, 2009).
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008).
Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007).
Binti Maunah, Landasan Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009).



[1] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hal 1-2.
[2] Wina Sanjaya, Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 6-7.
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 5.
[4] Ibid, hal 8.
[5] Henry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa (Bandung: Angkasa, 2009), hal 4-5.
[6] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal 83-84.
[7] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 164-165.
[8] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal 85.
[9] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 165.
[10] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 165.
[11] Ibid, hal 166.
[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 58.
[13] Wina Sanjaya, Kurikulum Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 31.
[14]Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hal 45.
[15] Ibid, hal 46.
[16] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 44.
[17] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 44-45.
[18] Binti Maunah, Landasan Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009), 74-75.
[19] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal 102-103.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel