PENDIDIKAN ISLAM KLASIK: TINJAUAN HISTORIS EPISTEMIK
Tuesday, March 6, 2018
PENDAHULUAN
Pendidikan
Islam selalu mengalami perubahan selaras dengan perkembangan zaman.[1]
Berbicara mengenai Pendidikan Islam tak lepas dari konsep sejarah yang
mengantarkannya dari era klasik hingga modern, konsep umum dari Pendidikan
Islam tak lain juga didomisili ranah epistemologi sebagai tataran konsep yang membangun
paradigma Pendidikan Islam. Formulasi Pendidikan Islam memang sudah dibentuk
pada zaman Nabi sebagai cikal bakal lahirnya hal tersebut dan terus berkembang
hingga masa kekinian, namun perlu dicatat dalam perkembangannya perlu diadakan
penelusuran yang lurus dalam mempelajarinya agar menjadi sebuah asumsi yang
mendasar akan pentingnya hal itu.
Epistemologi
yang melingkupi ranah Pendidikan Islam sangatlah penting dimengerti. Epistemologi
merupakan sebagai disiplin keilmuan khususnya dalam pendidikan Islam mempunyai
horizon yang sangat urgen akan perkembangannya. Epistemologi sebagai dasar
keilmuan diibaratkan sebagai paramida terbalik yang mana ia menempati posisi
bawah sedangkan metode dan hasil menempati posisi atas, yang mana dengan
menempatkan posisi epistemologi sebagai dasar
keilmuan maka akan mempengaruhi system dan lahirnya hasil dari keilmuan. Pergeseran
Epistemologi Pendidikan Islam dari zaman klasik, pertengahan hingga modern
memberikan implikasi pada sejumlah hal khususnya pada substansi Pendidikan Islam
secara eksplisit maupun implisit.
Tulisan
ini akan memaparkan sejauh mana perkembangan Pendidikan Islam mulai zaman
klasik hingga saat ini, dengan menggunakan pendekatan Sosiologis Historis akan
membantu melacak substansi Pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Namun
dalam tulisan ini lebih bersifat tematik yaitu yang membicarakan masalah
sebagai pokok pembahasan, sedangkan peristiwa dan pelaku-pelakunya hanya
bersifat sekunder.
PENDIDIKAN ISLAM
KLASIK: TINJAUAN HISTORIS EPISTEMIK
Makna Epistemologi
Pendidikan Islam
Epistemologi
sebagaimana cabang-cabang filsafat lainnya seperti antologi, dan axiology,
mengandung makna yang cukup kompleks. Sehingga para ahli (filosuf) berbeda-beda
dalam memaknai istilah ini, dan juga dalam memberikan eksentuasi kajiannya.
Louis O.Kattsoff misalnya, mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat
yang menyelidiki asal mula susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2]
Epistemologi juga bisa dipahami sebagai cabang filsafat yang mengkaji
sumber-sumber watak, dan kebenaran pengetahuan. Istilah ini identik dengan
teori pengetahuan. Epistemologi memang pada dasarnya adalah suatu cabang ilmu
untuk menyelidikiri hakikat pengetahuan yang bersumber dari kebenaran, maka
epistemologi adakalanya sebagai ilmu pengetahuan dan adapula sebagai cabang
ilmu yang melahirkan pengetahuan.
Selain
itu Epistemologi juga bisa dibedakan antara yang klasik dan kontemporer.
Epistemologi klasik menekankan pada aspek ilmu pengetahuan, sedangkan
epistemology kontemporer mengaksentuasikan bahasannya pada bagaimana proses,
prosedur, dan metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[3]
Masjid
Konsep
dasar masjid merupakan rumah Allah yang digunakan untuk beribadah umat muslim,
di sinilah penghuni masjid atau orang-orang yang beribadah mencurahkan hasrat
kerohaniannya kepada sang pencipta, namun si sisi lain masjid mempunyai peran
yang berbeda dalam kegunaanya, bermula dari suatu tempat ibadah begeser sedikit menjadi tempat diskusi atau
pemecahan masalah dan akhirnya menjadi lembaga pendidikan Islam.
Pada
permulaan pembinaan Islam masjid memang menjadi lembaga pendidikan utama, semua
sarana yang ada di dalamnya memang digunakan kaum muslim.[4] Begitu
sentralnya menjadi pusat pengkajian Ilmu ilmu agama seperti Fiqh, Hadist,
Tafsir, dan Aqidah. Tidak hanya anak-anak kecil yang belajar di dalamnya tetapi
orang dewasa dan orangtua pun juga turut meramaikannya dengan belajar selain
melakukan Ibadah sholat.
Dari
tinjauan sekilas di atas terlihat bahwa masjid menjadi lembaga pendidikan
Islam, bahkan laksana markas pendidikan.[5] Tapi
pertanyaanya sekarang adalah, mampukah masjid mampu berperan seperti dahulu
kala, menjadi pusat sentralistik pengembangan pendidikan Islam? Pertanyaanya
itu membutuhkan perenungan yang mendalam.
Optimalisasi pendidikan di masjid
memang memerlukan kerjasama banyak pihak, msyarakat Muslim mencapai pusat
kejayaan berawalberawal dan bertempat di masjid, sedangkan mengalami penurunan
di masjid, hal ini mengasumsikan bahwa masjid juga sebagai pusat peradaban Islam
selain sebagai pusat pendidikan Islam.
Surau
Secara bahasa “surau” berarti
“tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya surau adalah
bangunan kecil yang didirikan untuk penyembahan arwah nenek moyang.[6] Istilah
Surau kemudian mengacu kepada “masjid kecil” atau “langgar” musholla yang tidak
digunakan sholat Jum’at. Surau bukanlah masjid dalam pengertian umum meski ia
juga digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan. Istilah suarau ternyata tidak
hanya di Indonesia saja, di negara Malaysia misalnya terdapat surau besar dan
surau kecil, surau besar biasanya tidak jauh berbeda dengan masjid jami’ di
kawasan Indonesia seperti digunakannya untuk sholat Jum’at pada umumnya danada
struktur yang jelas dalam pengelolaannya seperti dipilihnya takmir, Imam besar,
surau di sini tidak digunakan untuk pusat pengajaran ajaran Islam, sedangkan
surau kecil merupakansebuah langgar kecil (musholla) sebagai pusat kegiatan sholat
berjamaah dan kegiatan-kegiatan keagamaan, akan tetapi di sini ada sedikit
perbedaan yang cukup menonjol dibanding dengan istilah surau besar, selain
untuk kegiatan keagamaan surau kecil juga digunakan untuk pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam seperti
pembelajaran Al Qur’an, rukun rukun Iman dan Islam.
Fungsi surau tidak berubah setelah
kedatangan Islam. Hanya saja fungsi keagamaan semakin penting. Awalnya surau
menjadi tempat untuk anak-anak dan remaja memperoleh pengetahuan dasar
keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Ilsam pertama kali di kembangkan
oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman setelah kembali dari Aceh tempat Ia
belajar di Aceh dengan Syekh Abdur Ra’uf As singkily.
Surau dengan system pendidikan yang
khas kembali mencapai puncak kejayaan setidaknya hingga dasawarsa ke dua abad
ke-20 ketika Pendidikan Belanda dan madrasah dikenalkan kelompok muslim
modernis. Bukti-bukti menunjukkan, pendidikan surau tetap memainkan peran yang penting
masyarakat Minangkabau abad-19.[7]
Pamor surau mulai terancam ketika
pendidikan Belanda mendirikan sekolah Nagari (volckschoolen) di berbagai desa sejak 1825. Sekolah ini mulanya
didirikan untuk mempersiapkan tenaga kerja pada sektor yang diciptakan Belanda.[8] Dalam
hal ini keberadaan surau mulai memudar, alasan yang mendorongnya adalah karena
anggapan kaum muda modernis siapapun yang belajar di surau secara langsung
dapat dikatakan praktek tharikat, khuroffat dan bid’ah sehingga menjadi cepat
untuk dihilangkan, setelah itu kaum muda modern mendirikan madrasah modern
sebagai alternative pendidikan surau, dan Ia sukses besar dengan upaya ini,
sehingga banyak surau ditransformasikan menjadi madrasah hingga akibatnya murid
yang berada di surau merosot hebat.
Pendidikan Islam
Tradisional dalam kesinambungan dan perubahan
Pendidikan Pesantren
Secara historis-kultural,
latar belakang kemunculan pesantren memiliki keterkaitan erat dengan Islam yang
bercorak tasawuf yang awal mula masuk ke Indonesia. Setelah “dipedesakan” dalam
pergumulan sejarahnya, pesantren banyak menyerap buadaya desa yang statis dan
sinkretis. Oleh karena itu Instituti pesantren dapat dikatakan sebagai kancah
tumbuh-berkembangnya “system pengetahuan’ hasil pengetahuan unit antara
katagorial social secara vertical (wong cilik) dan katagori kulutural secara
horizontal (santri).[9]
Sekitar abad XVII M,
terbentuk jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara yang memiliki
“kandungan intelektual” neo-sufisme. Tidak seperti paham tasawuf sebelumnya,
neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar kesetiaan kepada syari’ah (fiqih).[10] Pada
akhir abad XVII M, Islam di kepulauan Nusantara dapat dibilang telah mencapai
puncak batas ekspanasi geografis dan memasuki fase konsulidasi di berbagai
daerah berkat terbentuknya jaringan ulama dan Instituti pusat kajian keislaman
yang ada, semisal pesantren dan madrasah.[11] Dari
sini pergeseran tradisi keilmuan pesantren dimulai dari tradisi keilmuan fiqih-sufistik.
Maka dari itu selain kecenderungan mistik atau tasawuf yang semakin diarahkan
kepada coraknya yang mu’tabaroh atau
yang tidak menyimpang, fiqih pun menjadi tolak ukur dalam menentukan corak tata
perilaku. Perpaduan fiqih-sufistik yang begitu kuat mempengaruhi living culture dunia pesantren telah
mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren yang
menyangkut khazanah pengetahuan Islam
yang senantiasa dalam alur formulasi “normatife”. Salah satu implikasi yang
terlihat proses belajar mengajar di pesantren lebih didominasi oleh model
pemikiran dedukatif-dogmatis agama daripada pemikiran yang induktif-rasioanal faktual.[12]
Pola model pendidikan
di pesantren memang begitu tampak cirinya, selain mempunyai kharakteristik yang
berbeda, dalam pesantren figure seorang kyai
sangat berperan penting dan memberikan pengaruh besar dalam semua hal tak
lain dalam segi pembelajaran. Ketaatan santri kepada kyai merupakan wujud yang
diadopsi sebagai kultural klasik salafussolih
sehingga titik sentralistik kepesantrenan terletak pada figur kyai, mungkin ada beberapa factor yang
menjadikan ketaatan santri pada kyai
diantaranya adalah kajian kitab Ta’lim
wal Muta’allim yang merupakan kitab praktis yang dipelajari para santri
sebagai penuntut ilmu. Maka dari itu tidak mengherankan jika alumni pesantren
biasanya lebih banyak cenderung pada pola pikir deduktif-dogmatis dan ketaatan serta mempunyai moralitas yang
tinggi.
Eksistensi Madrasah
dalam Pendidikan Islam di Indonesia masa klasik
Dalam ralitas
pendidikan Islam di tanah air sewaktu dibicarakan tentang lembaga pendidikan
Islam selain pesantren yang terbayang di benak adalah madrasah. Institusi
pendidikan ini lahir pada kurun awal abad XX M, yang dianggap sebagai periode
pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.[13]
Buku-buku sejarah di Indonesia agaknya sangat terbatas dan sedikit
menginformasikan tentang eksistensi awal mula madrasah di Nusantara. Evolusi
kelembagaan di wilayah ini bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah.
Madrasah di Indonesia bisa dikatakan sebagai perkembangan lanjut dari
pesantren.
Menarik untuk dicatat,
bahwa diukur dari keteituan-ketentuan fisik madrasah pada abad 11-12 M paling
tidak seperti halnya yang dikatakan George Maksidi bahwa struktur pesantren
yang ada di Indonesia seperti halnya madrasah di Baghdad abad 11-12 M. Sebagai
madrasah yang terdiri dari masjid, asrama, dan ruang belajar, pesantren pun
juga memiliki ruang belajar, asrama dan masjid.[14] Maka
dalam hal ini madrasah yang ada di Indonesia bisa dikataan tidak sepenuhnya
mencontoh madrasah yang ada di kawasan Timur Tengah abad 11-12 M, melainkan
sebuah konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur
Tengah masa modern.
Dalam ukuran tertentu
tidak bisa diabaikan bahwa pertumbuhan madrasah itu merupakan respon pendidikan
Islam terhadap system pendidikan persekolahan yang sudah menjadi kebijakan
pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka politik etisnya. Latar belakang lain
yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah
pada awal abad 20 ini merupakan dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia,
yang memiliki kontak cukup insentif dengan gerakan pembaharuan di Indonesia.[15] Sebagai
agama yang universal, Islam merupakan agama yang mampu membawa peradaban klasik
Timur Tengah hingga ke Indonesia tak lain juga membawa Institusi keilmuan yaitu
madrasah, meskipun dalam segi internal supremasi madrasah tidaklah berubah
namun aspek eksternal dalam cakupanya cukup signifikan untuk berubah, hal ini
dapat terbukti dengan adanya pembaharuan dan revitalisasi madrasah di Indonesia
dalam kurun waktu yang relatife berubah.
Madrasah didirikan
dengan maksud untuk mengumpulkan keunggulan yang ada pada pesantren dan
sekolah. Pesantren ,memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu agama Islam dan sekolah
memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu umum.[16]
Eksistensi madrasah di masa ini memang lebih menitikberatkan pada kajian-kajian
ilmu-ilmu agama seperti Syari’ah, Aqidah, Al Qur’an dan Akhlak. Sistem
pengajaranya juga relatife tradisional sepertihalnya dilakukan di pondok
pesantren cuma ada segi perbedaan, madrasah lebih sedikit termodiv seperti
halnya dengan penggunaan bangku dan papan tulis dalam pembelajarannya sedangkan
corak pesantren tidak menggunakan hal tersebut. Sebagaimana hal di atas
dikotomi madrasah dan sekolah sangatlah jelas, yang mana sekolah lebih spesifik
pada kajian-kajian ilmu umum dan madrasah pada ranah ilmu keagamaan.
[1] Penulis adalah
mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konsentrasi Pendidikan Islam.
[2][2] Lihat
Louis.O.kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj.
Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm.76. Ada juga
ahli yang mendefisinisikan epistemologi pada dasarnya juga merupakan suatu
upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia
dalam interaksinya dengan diri, lingkungan, sosial, dan alam sekitarnya. Oleh
karena sifatnya yang rasional dan menentukan kognisi, maka epistemologi bisa
dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sifatnya evalatif, normative, dan kritis.
Lihat J Sudarminta, Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002),
hlm.18-19.
[4] Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, dalam Abdullah
Idi, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2006).hlm 81.
[5] Ibid.,hlm 82
[6] Lihat Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Mileniium III, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group,
2012), hlm.150.
[8] Ibid., hlm.155
[9] Koentowijoyo mengklasifikasikan
masyarakat Jawa menjadi katagori social vertical (wong cilik-priyayi) dan
katagori kultural horizontal (santri-abangan): lihat Koentowijoyo, Budaya dan Masyarakat, dalam Mahmud
Arif, Panorama Pendidikan Islam: Sejarah,
Pemikiran dan Kelembagaan, (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.53.
[10] Lihat Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara abad XVII dan XVIII ,(Bandung: Mizan, 1996), hlm.128
[11] Lihat Riddel, Islam and The Malay-Indonesian World, dalam
Mahmud Arif, Panorama Pendidikan Islam:
Sejarah, Pemikiran, dan kelembagaan (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.55.
[12] Ibid, hlm.55.
[13] Lihat Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 98
[14] Lihat Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta:
LP3ES. 1985).
[15] Ibid.,hlm.55.
[16] Lihat Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan
Islam: Membentuk Insan Kamil dan Berkualitas, (Yogyakarta: Fadilatama,
2009), hlm.63.