PENDIDIKAN ISLAM KLASIK: TINJAUAN HISTORIS EPISTEMIK



PENDAHULUAN

Pendidikan Islam selalu mengalami perubahan selaras dengan perkembangan zaman.[1] Berbicara mengenai Pendidikan Islam tak lepas dari konsep sejarah yang mengantarkannya dari era klasik hingga modern, konsep umum dari Pendidikan Islam tak lain juga didomisili ranah epistemologi sebagai tataran konsep yang membangun paradigma Pendidikan Islam. Formulasi Pendidikan Islam memang sudah dibentuk pada zaman Nabi sebagai cikal bakal lahirnya hal tersebut dan terus berkembang hingga masa kekinian, namun perlu dicatat dalam perkembangannya perlu diadakan penelusuran yang lurus dalam mempelajarinya agar menjadi sebuah asumsi yang mendasar akan pentingnya hal itu.
Epistemologi yang melingkupi ranah Pendidikan Islam sangatlah penting dimengerti. Epistemologi merupakan sebagai disiplin keilmuan khususnya dalam pendidikan Islam mempunyai horizon yang sangat urgen akan perkembangannya. Epistemologi sebagai dasar keilmuan diibaratkan sebagai paramida terbalik yang mana ia menempati posisi bawah sedangkan metode dan hasil menempati posisi atas, yang mana dengan menempatkan posisi epistemologi sebagai  dasar keilmuan maka akan mempengaruhi system dan lahirnya hasil dari keilmuan. Pergeseran Epistemologi Pendidikan Islam dari zaman klasik, pertengahan hingga modern memberikan implikasi pada sejumlah hal khususnya pada substansi Pendidikan Islam secara eksplisit maupun implisit.
Tulisan ini akan memaparkan sejauh mana perkembangan Pendidikan Islam mulai zaman klasik hingga saat ini, dengan menggunakan pendekatan Sosiologis Historis akan membantu melacak substansi Pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Namun dalam tulisan ini lebih bersifat tematik yaitu yang membicarakan masalah sebagai pokok pembahasan, sedangkan peristiwa dan pelaku-pelakunya hanya bersifat sekunder.
PENDIDIKAN ISLAM KLASIK: TINJAUAN HISTORIS EPISTEMIK

Makna Epistemologi Pendidikan Islam
Epistemologi sebagaimana cabang-cabang filsafat lainnya seperti antologi, dan axiology, mengandung makna yang cukup kompleks. Sehingga para ahli (filosuf) berbeda-beda dalam memaknai istilah ini, dan juga dalam memberikan eksentuasi kajiannya. Louis O.Kattsoff misalnya, mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal mula susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2] Epistemologi juga bisa dipahami sebagai cabang filsafat yang mengkaji sumber-sumber watak, dan kebenaran pengetahuan. Istilah ini identik dengan teori pengetahuan. Epistemologi memang pada dasarnya adalah suatu cabang ilmu untuk menyelidikiri hakikat pengetahuan yang bersumber dari kebenaran, maka epistemologi adakalanya sebagai ilmu pengetahuan dan adapula sebagai cabang ilmu yang melahirkan pengetahuan.
Selain itu Epistemologi juga bisa dibedakan antara yang klasik dan kontemporer. Epistemologi klasik menekankan pada aspek ilmu pengetahuan, sedangkan epistemology kontemporer mengaksentuasikan bahasannya pada bagaimana proses, prosedur, dan metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[3]
                      
Masjid
Konsep dasar masjid merupakan rumah Allah yang digunakan untuk beribadah umat muslim, di sinilah penghuni masjid atau orang-orang yang beribadah mencurahkan hasrat kerohaniannya kepada sang pencipta, namun si sisi lain masjid mempunyai peran yang berbeda dalam kegunaanya, bermula dari suatu tempat ibadah  begeser sedikit menjadi tempat diskusi atau pemecahan masalah dan akhirnya menjadi lembaga pendidikan Islam.
Pada permulaan pembinaan Islam masjid memang menjadi lembaga pendidikan utama, semua sarana yang ada di dalamnya memang digunakan kaum muslim.[4] Begitu sentralnya menjadi pusat pengkajian Ilmu ilmu agama seperti Fiqh, Hadist, Tafsir, dan Aqidah. Tidak hanya anak-anak kecil yang belajar di dalamnya tetapi orang dewasa dan orangtua pun juga turut meramaikannya dengan belajar selain melakukan Ibadah sholat.
Dari tinjauan sekilas di atas terlihat bahwa masjid menjadi lembaga pendidikan Islam, bahkan laksana markas pendidikan.[5] Tapi pertanyaanya sekarang adalah, mampukah masjid mampu berperan seperti dahulu kala, menjadi pusat sentralistik pengembangan pendidikan Islam? Pertanyaanya itu membutuhkan perenungan yang mendalam.
Optimalisasi pendidikan di masjid memang memerlukan kerjasama banyak pihak, msyarakat Muslim mencapai pusat kejayaan berawalberawal dan bertempat di masjid, sedangkan mengalami penurunan di masjid, hal ini mengasumsikan bahwa masjid juga sebagai pusat peradaban Islam selain sebagai pusat pendidikan Islam.


Surau
Secara bahasa “surau” berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya surau adalah bangunan kecil yang didirikan untuk penyembahan arwah nenek moyang.[6] Istilah Surau kemudian mengacu kepada “masjid kecil” atau “langgar” musholla yang tidak digunakan sholat Jum’at. Surau bukanlah masjid dalam pengertian umum meski ia juga digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan. Istilah suarau ternyata tidak hanya di Indonesia saja, di negara Malaysia misalnya terdapat surau besar dan surau kecil, surau besar biasanya tidak jauh berbeda dengan masjid jami’ di kawasan Indonesia seperti digunakannya untuk sholat Jum’at pada umumnya danada struktur yang jelas dalam pengelolaannya seperti dipilihnya takmir, Imam besar, surau di sini tidak digunakan untuk pusat pengajaran ajaran Islam, sedangkan surau kecil merupakansebuah langgar kecil (musholla) sebagai pusat kegiatan sholat berjamaah dan kegiatan-kegiatan keagamaan, akan tetapi di sini ada sedikit perbedaan yang cukup menonjol dibanding dengan istilah surau besar, selain untuk kegiatan keagamaan surau kecil juga digunakan untuk pusat  pengajaran ilmu-ilmu agama Islam seperti pembelajaran Al Qur’an, rukun rukun Iman dan Islam.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam. Hanya saja fungsi keagamaan semakin penting. Awalnya surau menjadi tempat untuk anak-anak dan remaja memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Ilsam pertama kali di kembangkan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman setelah kembali dari Aceh tempat Ia belajar di Aceh dengan Syekh Abdur Ra’uf As singkily.
Surau dengan system pendidikan yang khas kembali mencapai puncak kejayaan setidaknya hingga dasawarsa ke dua abad ke-20 ketika Pendidikan Belanda dan madrasah dikenalkan kelompok muslim modernis. Bukti-bukti menunjukkan, pendidikan surau tetap memainkan peran yang penting masyarakat Minangkabau abad-19.[7]
Pamor surau mulai terancam ketika pendidikan Belanda mendirikan sekolah Nagari (volckschoolen) di berbagai desa sejak 1825. Sekolah ini mulanya didirikan untuk mempersiapkan tenaga kerja pada sektor yang diciptakan Belanda.[8] Dalam hal ini keberadaan surau mulai memudar, alasan yang mendorongnya adalah karena anggapan kaum muda modernis siapapun yang belajar di surau secara langsung dapat dikatakan praktek tharikat, khuroffat dan bid’ah sehingga menjadi cepat untuk dihilangkan, setelah itu kaum muda modern mendirikan madrasah modern sebagai alternative pendidikan surau, dan Ia sukses besar dengan upaya ini, sehingga banyak surau ditransformasikan menjadi madrasah hingga akibatnya murid yang berada di surau merosot hebat.

Pendidikan Islam Tradisional dalam kesinambungan dan perubahan
Pendidikan Pesantren
Secara historis-kultural, latar belakang kemunculan pesantren memiliki keterkaitan erat dengan Islam yang bercorak tasawuf yang awal mula masuk ke Indonesia. Setelah “dipedesakan” dalam pergumulan sejarahnya, pesantren banyak menyerap buadaya desa yang statis dan sinkretis. Oleh karena itu Instituti pesantren dapat dikatakan sebagai kancah tumbuh-berkembangnya “system pengetahuan’ hasil pengetahuan unit antara katagorial social secara vertical (wong cilik) dan katagori kulutural secara horizontal (santri).[9]
Sekitar abad XVII M, terbentuk jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara yang memiliki “kandungan intelektual” neo-sufisme. Tidak seperti paham tasawuf sebelumnya, neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar kesetiaan kepada syari’ah (fiqih).[10] Pada akhir abad XVII M, Islam di kepulauan Nusantara dapat dibilang telah mencapai puncak batas ekspanasi geografis dan memasuki fase konsulidasi di berbagai daerah berkat terbentuknya jaringan ulama dan Instituti pusat kajian keislaman yang ada, semisal pesantren dan madrasah.[11] Dari sini pergeseran tradisi keilmuan pesantren dimulai dari tradisi keilmuan fiqih-sufistik. Maka dari itu selain kecenderungan mistik atau tasawuf yang semakin diarahkan kepada coraknya yang mu’tabaroh atau yang tidak menyimpang, fiqih pun menjadi tolak ukur dalam menentukan corak tata perilaku. Perpaduan fiqih-sufistik yang begitu kuat mempengaruhi living culture dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren yang menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa dalam alur formulasi “normatife”. Salah satu implikasi yang terlihat proses belajar mengajar di pesantren lebih didominasi oleh model pemikiran dedukatif-dogmatis agama daripada pemikiran yang induktif-rasioanal faktual.[12]
Pola model pendidikan di pesantren memang begitu tampak cirinya, selain mempunyai kharakteristik yang berbeda, dalam pesantren figure seorang kyai sangat berperan penting dan memberikan pengaruh besar dalam semua hal tak lain dalam segi pembelajaran. Ketaatan santri kepada kyai merupakan wujud yang diadopsi sebagai kultural klasik salafussolih sehingga titik sentralistik kepesantrenan terletak pada figur kyai, mungkin ada beberapa factor yang menjadikan ketaatan santri pada kyai diantaranya adalah kajian kitab Ta’lim wal Muta’allim yang merupakan kitab praktis yang dipelajari para santri sebagai penuntut ilmu. Maka dari itu tidak mengherankan jika alumni pesantren biasanya lebih banyak cenderung pada pola pikir deduktif-dogmatis dan ketaatan serta mempunyai moralitas yang tinggi.

Eksistensi Madrasah dalam Pendidikan Islam di Indonesia masa klasik
Dalam ralitas pendidikan Islam di tanah air sewaktu dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam selain pesantren yang terbayang di benak adalah madrasah. Institusi pendidikan ini lahir pada kurun awal abad XX M, yang dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.[13] Buku-buku sejarah di Indonesia agaknya sangat terbatas dan sedikit menginformasikan tentang eksistensi awal mula madrasah di Nusantara. Evolusi kelembagaan di wilayah ini bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dikatakan sebagai perkembangan lanjut dari pesantren.
Menarik untuk dicatat, bahwa diukur dari keteituan-ketentuan fisik madrasah pada abad 11-12 M paling tidak seperti halnya yang dikatakan George Maksidi bahwa struktur pesantren yang ada di Indonesia seperti halnya madrasah di Baghdad abad 11-12 M. Sebagai madrasah yang terdiri dari masjid, asrama, dan ruang belajar, pesantren pun juga memiliki ruang belajar, asrama dan masjid.[14] Maka dalam hal ini madrasah yang ada di Indonesia bisa dikataan tidak sepenuhnya mencontoh madrasah yang ada di kawasan Timur Tengah abad 11-12 M, melainkan sebuah konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah masa modern.
Dalam ukuran tertentu tidak bisa diabaikan bahwa pertumbuhan madrasah itu merupakan respon pendidikan Islam terhadap system pendidikan persekolahan yang sudah menjadi kebijakan pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka politik etisnya. Latar belakang lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal abad 20 ini merupakan dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, yang memiliki kontak cukup insentif dengan gerakan pembaharuan di Indonesia.[15] Sebagai agama yang universal, Islam merupakan agama yang mampu membawa peradaban klasik Timur Tengah hingga ke Indonesia tak lain juga membawa Institusi keilmuan yaitu madrasah, meskipun dalam segi internal supremasi madrasah tidaklah berubah namun aspek eksternal dalam cakupanya cukup signifikan untuk berubah, hal ini dapat terbukti dengan adanya pembaharuan dan revitalisasi madrasah di Indonesia dalam kurun waktu yang relatife berubah.
Madrasah didirikan dengan maksud untuk mengumpulkan keunggulan yang ada pada pesantren dan sekolah. Pesantren ,memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu agama Islam dan sekolah memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu umum.[16] Eksistensi madrasah di masa ini memang lebih menitikberatkan pada kajian-kajian ilmu-ilmu agama seperti Syari’ah, Aqidah, Al Qur’an dan Akhlak. Sistem pengajaranya juga relatife tradisional sepertihalnya dilakukan di pondok pesantren cuma ada segi perbedaan, madrasah lebih sedikit termodiv seperti halnya dengan penggunaan bangku dan papan tulis dalam pembelajarannya sedangkan corak pesantren tidak menggunakan hal tersebut. Sebagaimana hal di atas dikotomi madrasah dan sekolah sangatlah jelas, yang mana sekolah lebih spesifik pada kajian-kajian ilmu umum dan madrasah pada ranah ilmu keagamaan.



[1] Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Pendidikan Islam.
[2][2] Lihat Louis.O.kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm.76. Ada juga ahli yang mendefisinisikan epistemologi pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan, sosial, dan alam sekitarnya. Oleh karena sifatnya yang rasional dan menentukan kognisi, maka epistemologi bisa dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sifatnya evalatif, normative, dan kritis. Lihat J Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm.18-19.

[4] Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, dalam Abdullah Idi, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006).hlm 81.
[5] Ibid.,hlm 82
[6] Lihat Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Mileniium III, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2012), hlm.150.
[7] Ibid., hlm.155
[8] Ibid., hlm.155
[9] Koentowijoyo mengklasifikasikan masyarakat Jawa menjadi katagori social vertical (wong cilik-priyayi) dan katagori kultural horizontal (santri-abangan): lihat Koentowijoyo, Budaya dan Masyarakat, dalam Mahmud Arif, Panorama Pendidikan Islam: Sejarah, Pemikiran dan Kelembagaan, (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.53.
[10] Lihat Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII ,(Bandung: Mizan, 1996), hlm.128
[11] Lihat Riddel, Islam and The Malay-Indonesian World, dalam Mahmud Arif, Panorama Pendidikan Islam: Sejarah, Pemikiran, dan kelembagaan (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.55.
[12] Ibid, hlm.55.
[13] Lihat Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 98
[14] Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES. 1985).
[15] Ibid.,hlm.55.
[16] Lihat Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam: Membentuk Insan Kamil dan Berkualitas, (Yogyakarta: Fadilatama, 2009), hlm.63.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel