seklumit pemahaman tentang filsafat ilmu



                                                           FILSAFAT ILMU

Gottfried_Wilhelm_von_Leibniz

Dosen Pengampu                  : Dr SIGIT

Nama Kelompok                   : Ngantori
                                    : Subairi


1.    a. Hakekat Manusia
Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya perspektif filasafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar lain:

1)        Dalam perspektif filsafat.
Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar.

a)      Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas.

Memang kita dapat menerima gagasan tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.

b)     Wujud dan Potensi Manusia.
Wujud  Manusia. menurut penganut aliran  Materialisme yaitu  Julien  de  La Mettrie bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh atau fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandangnya hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan dengan gagasan Julien de La Metrie, menurut Plato salah seorang penganut aliran Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/ rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan.

2)        Dalam Perspektif Ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan ekonomi. Komunikasi interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau kebutuhan-kebutuhan hidup sangat menghiasi kehidupan mereka.

3)        Dalam Perspektif Sosiologi.
Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia.

4)        Dalam Perspektif Psikologi.
Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa, Jiwa merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.


b. Jenis-Jenis Berfikir Dan Penngetahuan
1). jenis jenis berfikir
Secara besar, ada dua macam berpikir: berpikir autistik atau berpikir realistik (Rahmat, 1994:69). Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Contoh berpikir autistik antara lain mengkhayal, fantasi, atau wishful thingking. Dengan berpikir autistik, seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar–gambar fantastik. Adapun berpikir realistik atau sering pula disebut reasoning (nalar), adalah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch (1967), seperti dikutip Rakhmat (1994:69), menyebut tiga macam berpikir realistik: dedukatif, induktif, evaluatif.
Apa yang dimaksud berpikir deduktif, berpikir induktif, dan berpikir evaluatif? Uraian berikut bisa memberi sedikit penjelasan.
a). Berpikir Deduktif
Dilihat dari prosesnya, berpikir deduktif berlangsung dari yang umum menuju yang khusus. Dalam cara berpikir ini, orang bertolak dari suatu teori, prinsip, atau kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dari situ, ia menerapkannya pada fenomena–fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. Jadi, untuk lebih jelasnya, berpikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pertanyaan: yang pertama merupakan pertanyaaan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme.
Contoh klasik yang biasa digunakan sebagai pejelasan adalah seperti contoh berikut:
Semua manusia akan mati (Kesimpulan umum)
Socrates adalah manusia (Kesimpulan khusus)
Jadi, Socrates akan mati (Kesimpulan deduksi)
Selain contoh di atas, ada pula semacam kesimpulan deduksi yang tidak bisa kita terima kebenarannya, yang disebut silogisme semu.
Contohnya:
Semua manusia bernafas dengan paru-paru (Premis Mayor)
Kerbau bernafas dengan paru-paru (Premis Minor)
Jadi, kerbau adalah manusia (Kesimpulan yang Salah)
Contoh lain:
Semua anggota PKI bukan warga negara yang baik (premis Mayor)
Si Waru bukan seorang warga negara yang baik (Premis Minor)
Sebab itu, Si Waru seorang anggota PKI

b. Berpikir Induktif
Induktif artinya bersifat induksi. Induksi adalah proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena–fenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif, proses penalaran itu juga disebut sebagai corak berpikir ilmiah. Namun, induksi tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti oleh proses berpikir yang pertama, yaitu deduksi, seperti telah kita bicarakan sebelumnya.
Berpikir induktif (induktive thingking) ialaha menarik suatu kesimpulanumum dari berbagai kejadian (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan berpikirnya adalah induktif. Jadi, jelas pemikiran semacam ini mendekatkan manusia pada ilmu pengetahuan.
Berikut ini adalah contoh berpikir induktif:
Seorang guru mengadakan eksperimen–eksperimen menanam biji–bijian bersama murid–muridnya, jagung ditanam, tumbuh ke atas; kacang tanah ditanam, di sebelah bawah, tumbuhnya ke atas pula; biji–biji yang lain demikian pula.
Kesimpulannya: semua batang tanaman, tumbuhannya ke atas mencari sinar matahari.
Tepat atau  tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini terutama bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil, yang mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil makin representatif dan makin besar pula taraf validitasnya dari kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh objektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena–fenomena yang diselidiki (Purwanto, 1998:47 – 48).
c. Berpikir Evaluatif
Berpikir evaluatif ialah kritis, menilai sutu baik-buruknya, tepatnya atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatis, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat.1994).
Perlu diingat bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam fokus. Suatu masalah yang sama, mungkin menimbulkan pemecahan yang berbeda–beda pula. Adapun faktor–faktor yang memengaruhi jalannya berpikir itu, antara lain, yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang tengah dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman–pengalaman orang tersebut, serta bagaimana inteligensi orang itu.
2) Jenis Pengetahuan
John Dewey, Pengetahuan ialah perkembangan pandangan instrumentalis pragmatis, dimana kecerdasan dilihat sebagai penyesuaian yang sensitif dan fleksibel dengan bermaksud ends-in view
Proses terjadinya pengetahuan merupakan bagian penting dalam epistermologi, sebab halh ini akan mewaqrnai corak pemikiran kefailsafatan. Proses terjadinya pengetahua ini bhermacam-macam. Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan di peroleh melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin.
Menurut Jan Hendrik Rapar (2005;38,39), pengetahuan dapat di bhagi menjadi 3 jenis yaitu: pengetahuan biasa, pengetahauan ilmiyah dan pengetahuan filsafati.
Pengetahuan biasa adalah, di perroleh melalaui penyerapan indra terhadap objek tertentu yang di saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendapatkanya dengan berfikir secara rasional yang mendalam mengenai sesuatu hal namun harus dibuktikanya dengan metode ilmiyah.
Pengetahuan Ilmiah, adalah pengetahuan yang di peroleh memlaui pengunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang di capai.
Pengetahuan Filsafati adalah yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan dari seluruh realitas yang di persoalkan selaku objek yang hendak diketahui. Pengetahuan ini diperoleh memlaui pemikiran rasdional yang didasarakan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitik, dan sistematis.

2.    a. Metode Berfikir Filsafat
1)   Metode Kritis
Metode ini di pelopori oleh Plato dan Socrates, metode kritis ini adalah, cara kerja atau bertindak yang bersifat analitis. Metode ini dilakukan dengan cara melalui percakapan-percakapn (dialog). Dari dialog tersebut mereka menemukan suatu cara berfikir induktif, yaitu berdasarkan pengetahuan mengenai masalah masalah shusus memeperoleh kesimpulan penegetahuan yang bersifat umum.

2)   Metode Skolastik
Metode ini di kembangkan oleh Aristotelesdan Thomas Aquinas. Metode ini sering di sebut dengan istilah sisntesis Deduktif.
Ada juga yang berpendapat metode berfikir filsafat itu ada tiga; Sistematis, historis, dan kritis.
Sistematis, dengan memepelajari karya-karya filsafat tentang teori-teorinya filsafat yg terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah memepelajari teori hakikat yg merupakan cabang ilmu lainya, kemudian ia akan memepelajari teori nilai atau filsafat nilai. Ketika pelajar membahas setiap setiap cabang atau subcabang filsafat, maka aliaran–aliran filsafatakan terbahas. Intiny dengan memepelajari metode ini akan fokus pada isi filsafat bukan pada tokoh ataupun zamanya serta priodenya.
Meteode Historis, meteode ini dengan memepelajari sejarah sekaligus memepelajari tokoh meneurut kedududkannya dalam sejarah. Yang jelas metode ini berati memepelajari filsafat melalui kronologis.
Metode Kritis, metode ini berati mempelajari filsafat tingkat intensif. Ini tidah lepas dari metode sistemati, historis, atau metode lain. Setelah itu maka akan mengerti apa pemikiranya kemudia mencoba mengritisi apa pemikiranya dan bahakan mendukungnya.

b. Pendekatan Memepelajari Filsafat
Pendekatan eksistensial. Metode ini memandang tugas pertama pengantar filsafat adalah memperkenalkan jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Dalam pendekatan ini, tema-tema pokok filsafat didalami dengan harapan bahwa pembacanya akan dengan sendirinya memperoleh gambaran tentang filsafat yang seutuhnya.
Pendektan analitis dengan berbagai variasinya. Metode ini memandang jika tugas utama pengatar filsafat adalah menjelaskan unsure-unsur filsafat. Dalam pendekatan ini, isi filsafat diuraikan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya.
Pendekatan metodologis. Cara ini sangatlah penting mengingat bahwa cara terpenting memahami filsafat adalah dengan berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai metode berfilsafat ditimbang-timbang, kemudian metode yang di pandang terbaik diuraikan lebih lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman berfilsafat.

3.    Ilmu Sebagai Akumulasi Pengetahuan
a.       Ilmu sendiri adalah, penegetahauan yang di dapat dengan jalan keteranagan, sedangakam penegetahuan sendiri di dapat dari penegalaman. Jadi ilmu penegetahuan meneurut Endang Saifudin Ansharai adalah usaha pemehaman manusia menegenai kegiatan, stuktur, pembagian, hukum tentang hal ihkwal yang di selidiki melalaui penegindraan dan di buktikan melalau kebenaran riset.
Oleh sebabab itu wajar saja jika ilmu dianagap sebagai akumulasi penegetahuan. Karena ilmu lebih dalam dalam kajianya sekaligus harus di buktikan secara ilmiyah dan nayat, sedangakan penegtahuan itu haya di peroleh dengan pengalam, entah itu pengalan yang sifatnya hanaya bersifat tidak mendalam dan tidak bisa dijadikan kebenaran yang mutlak.
b.      Orang yang menuntut ilmu di usahakan harus mengatau cara berfikir secara filsafat agar tidak terpengaruh dengan begitu saja apa yang di katakan oleh pengajar atau buku yang di bacanya. Keharusan dalam befikir secara filsafat sangat di anjurkan kepada orang yang sedang mencari ilmu dan meragukan hal yang telah dimengerti atau dilihat oleh indra. Karena kebenran itu bukan dari pengelihatan saya namu banyak alat untuk mengetahiu sesuatu. Namun juga harus berfikir scara ilmiyah juga.

4.    A. Paradikma Ilmu Moderen

Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996:3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman
Aristiteles sampai David Hume, dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan. Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif, yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan. Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari)
Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.
Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan, demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini, akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan, peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik, hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong berkembangnya penelitian kualitatif. oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi, hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.

B.  Penegertiaan ontologi, epistemologi dan aksiologi
1.      Ontologi
Ontologi adalah the theory og being que being (teori tentanag keberadaan sebagai keberadaan). Teori tentang sesuatu atau hal yang nyata dalam kehidupan. Objeknya adalah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk komologi dan metafisika dan ada sesudah kemataian maupun sumber segala yang ada yaitu Tuhan yang maha esa.
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Contoh: “Apa”

2.      Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?

3.      Aksiologi
Teori tentang nilai-nilai yang di maksud adalah, sesuatu yang di miliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbanagan tentang apa yang dinilai. Objeknya tentang maslah nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya: nilai moral, nilai agam, nilai keindahan (estetika). Bagaimana dan untuk apa? (manfaatnya).
Bagaiman kaitan antara cara pengunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Contoh: untuk apa kamu punya burung?

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel