seklumit pemahaman tentang filsafat ilmu
Monday, January 29, 2018
Dosen Pengampu : Dr SIGIT
Nama Kelompok : Ngantori
: Subairi
1. a. Hakekat Manusia
Pembicaraan manusia dapat
ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya perspektif filasafat, ekonomi,
sosiologi, antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar
lain:
1)
Dalam perspektif filsafat.
Disimpulkan bahwa manusia
merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar
intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan,
meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang
membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang
salah dan yang benar.
a)
Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu dalam
perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan
Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia
adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta.
Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang
dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert
Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah
ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas.
Memang kita dapat menerima gagasan tentang adanya proses
evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita
menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata
sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
b) Wujud dan Potensi Manusia.
Wujud Manusia. menurut
penganut aliran Materialisme yaitu Julien de La Mettrie
bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah
tubuh atau fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual
atau rohaniah dipandangnya hanya sebagai resonansi dari berfungsinya
badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ
tubuh luka muncullah rasa sakit Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).
Bertentangan dengan gagasan Julien de La Metrie, menurut Plato salah seorang
penganut aliran Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/ rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari
adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih
tinggi daripada badan.
2)
Dalam Perspektif Ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi,
manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan
ekonomi. Komunikasi interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau
kebutuhan-kebutuhan hidup sangat menghiasi kehidupan mereka.
3)
Dalam Perspektif Sosiologi.
Manusia adalah makhluk social
yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya.
Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan
menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
4)
Dalam Perspektif Psikologi.
Manusia adalah makhluk yang
memiliki jiwa, Jiwa merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan
kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan
berkemauan.
b.
Jenis-Jenis Berfikir Dan Penngetahuan
1).
jenis jenis berfikir
Secara besar, ada dua macam berpikir:
berpikir autistik atau berpikir realistik (Rahmat, 1994:69). Yang
pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Contoh berpikir autistik antara
lain mengkhayal, fantasi, atau wishful thingking. Dengan berpikir
autistik, seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai
gambar–gambar fantastik. Adapun berpikir realistik atau sering pula disebut reasoning
(nalar), adalah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata.
Floyd L. Ruch (1967), seperti dikutip Rakhmat (1994:69), menyebut tiga macam
berpikir realistik: dedukatif, induktif, evaluatif.
Apa
yang dimaksud berpikir deduktif, berpikir
induktif, dan berpikir evaluatif? Uraian berikut bisa memberi sedikit
penjelasan.
a).
Berpikir Deduktif
Dilihat
dari prosesnya, berpikir deduktif berlangsung dari yang umum menuju yang
khusus. Dalam cara berpikir ini, orang bertolak dari suatu teori, prinsip, atau
kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dari situ, ia
menerapkannya pada fenomena–fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan
khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. Jadi, untuk lebih jelasnya,
berpikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pertanyaan: yang pertama
merupakan pertanyaaan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme.
Contoh
klasik yang biasa digunakan sebagai pejelasan adalah seperti contoh berikut:
Semua manusia akan mati
(Kesimpulan umum)
Socrates adalah manusia
(Kesimpulan khusus)
Jadi, Socrates akan
mati (Kesimpulan deduksi)
Selain
contoh di atas, ada pula semacam kesimpulan deduksi yang tidak bisa kita terima
kebenarannya, yang disebut silogisme semu.
Contohnya:
Semua manusia bernafas
dengan paru-paru (Premis Mayor)
Kerbau
bernafas dengan paru-paru (Premis Minor)
Jadi, kerbau adalah
manusia (Kesimpulan yang Salah)
Contoh lain:
Semua anggota PKI bukan
warga negara yang baik (premis Mayor)
Si Waru bukan seorang
warga negara yang baik (Premis Minor)
Sebab itu, Si Waru
seorang anggota PKI
b.
Berpikir Induktif
Induktif
artinya bersifat induksi. Induksi adalah proses berpikir yang bertolak
dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu
kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan
evaluasi atas fenomena–fenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti
dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran
induktif, proses penalaran itu juga disebut sebagai corak berpikir ilmiah.
Namun, induksi tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti oleh proses
berpikir yang pertama, yaitu deduksi, seperti telah kita bicarakan sebelumnya.
Berpikir
induktif (induktive thingking) ialaha menarik suatu kesimpulanumum dari
berbagai kejadian (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya adalah observasi.
Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan berpikirnya adalah induktif. Jadi,
jelas pemikiran semacam ini mendekatkan manusia pada ilmu pengetahuan.
Berikut
ini adalah contoh berpikir induktif:
Seorang guru mengadakan
eksperimen–eksperimen menanam biji–bijian bersama murid–muridnya, jagung
ditanam, tumbuh ke atas; kacang tanah ditanam, di sebelah bawah, tumbuhnya ke
atas pula; biji–biji yang lain demikian pula.
Kesimpulannya:
semua batang tanaman, tumbuhannya ke atas mencari sinar matahari.
Tepat
atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini
terutama bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil, yang
mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil makin
representatif dan makin besar pula taraf validitasnya dari kesimpulan itu masih
ditentukan pula oleh objektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari
fenomena–fenomena yang diselidiki (Purwanto, 1998:47 – 48).
c.
Berpikir Evaluatif
Berpikir
evaluatif ialah kritis, menilai sutu baik-buruknya, tepatnya atau tidaknya suatu
gagasan. Dalam berpikir evaluatis, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan.
Kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat.1994).
Perlu
diingat bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam
fokus. Suatu masalah yang sama, mungkin menimbulkan pemecahan yang berbeda–beda pula. Adapun faktor–faktor yang memengaruhi jalannya berpikir itu,
antara lain, yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut,
situasi yang tengah dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi,
pengalaman–pengalaman orang tersebut, serta bagaimana inteligensi orang itu.
2)
Jenis Pengetahuan
John
Dewey, Pengetahuan ialah
perkembangan pandangan instrumentalis pragmatis, dimana kecerdasan dilihat
sebagai penyesuaian yang sensitif dan fleksibel dengan bermaksud ends-in view
Proses terjadinya pengetahuan merupakan
bagian penting dalam epistermologi, sebab halh ini akan mewaqrnai corak
pemikiran kefailsafatan. Proses terjadinya pengetahua ini bhermacam-macam. Ada
yang berpendapat bahwa pengetahuan di peroleh melalui pengalaman, baik
pengalaman indra maupun pengalaman batin.
Menurut Jan Hendrik Rapar (2005;38,39),
pengetahuan dapat di bhagi menjadi 3 jenis yaitu: pengetahuan biasa, pengetahauan ilmiyah dan
pengetahuan filsafati.
Pengetahuan biasa adalah, di perroleh
melalaui penyerapan indra terhadap objek tertentu yang di saksikan dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk mendapatkanya dengan berfikir secara rasional yang
mendalam mengenai sesuatu hal namun harus dibuktikanya dengan metode ilmiyah.
Pengetahuan Ilmiah, adalah pengetahuan
yang di peroleh memlaui pengunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin
kepastian kebenaran yang di capai.
Pengetahuan Filsafati adalah yang berkaitan dengan
hakikat, prinsip, dan dari seluruh realitas yang di persoalkan selaku objek
yang hendak diketahui. Pengetahuan ini diperoleh memlaui pemikiran rasdional
yang didasarakan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan
pemikiran-pemikiran yang logis, analitik, dan sistematis.
2. a. Metode
Berfikir Filsafat
1) Metode
Kritis
Metode ini di pelopori oleh Plato dan Socrates, metode
kritis ini adalah, cara kerja atau bertindak yang bersifat analitis. Metode ini
dilakukan dengan cara melalui percakapan-percakapn (dialog). Dari dialog
tersebut mereka menemukan suatu cara berfikir induktif, yaitu berdasarkan
pengetahuan mengenai masalah masalah shusus memeperoleh kesimpulan penegetahuan
yang bersifat umum.
2) Metode
Skolastik
Metode ini di kembangkan oleh Aristotelesdan Thomas
Aquinas. Metode ini sering di sebut dengan istilah sisntesis Deduktif.
Ada juga yang berpendapat metode berfikir filsafat itu ada tiga;
Sistematis, historis, dan kritis.
Sistematis, dengan memepelajari karya-karya filsafat
tentang teori-teorinya filsafat yg terdiri atas beberapa cabang filsafat.
Setelah memepelajari teori hakikat yg merupakan cabang ilmu lainya, kemudian ia
akan memepelajari teori nilai atau filsafat nilai. Ketika pelajar membahas
setiap setiap cabang atau subcabang filsafat, maka aliaran–aliran filsafatakan
terbahas. Intiny dengan memepelajari metode ini akan fokus pada isi filsafat
bukan pada tokoh ataupun zamanya serta priodenya.
Meteode Historis, meteode ini dengan memepelajari
sejarah sekaligus memepelajari tokoh meneurut kedududkannya dalam sejarah. Yang
jelas metode ini berati memepelajari filsafat melalui kronologis.
Metode Kritis, metode ini berati mempelajari filsafat
tingkat intensif. Ini tidah lepas dari metode sistemati, historis, atau metode
lain. Setelah itu maka akan mengerti apa pemikiranya kemudia mencoba mengritisi
apa pemikiranya dan bahakan mendukungnya.
b. Pendekatan Memepelajari Filsafat
Pendekatan eksistensial.
Metode ini memandang tugas pertama pengantar filsafat adalah memperkenalkan
jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Dalam pendekatan
ini, tema-tema pokok filsafat didalami dengan harapan bahwa pembacanya akan
dengan sendirinya memperoleh gambaran tentang filsafat yang seutuhnya.
Pendektan analitis
dengan berbagai variasinya. Metode ini memandang jika tugas utama pengatar
filsafat adalah menjelaskan unsure-unsur filsafat. Dalam pendekatan ini, isi
filsafat diuraikan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya.
Pendekatan metodologis.
Cara ini sangatlah penting mengingat bahwa cara terpenting memahami filsafat
adalah dengan berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai metode berfilsafat
ditimbang-timbang, kemudian metode yang di pandang terbaik diuraikan lebih
lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman berfilsafat.
3. Ilmu
Sebagai Akumulasi Pengetahuan
a.
Ilmu sendiri
adalah, penegetahauan yang di dapat dengan jalan keteranagan, sedangakam
penegetahuan sendiri di dapat dari penegalaman. Jadi ilmu penegetahuan meneurut
Endang Saifudin Ansharai adalah usaha pemehaman manusia menegenai kegiatan,
stuktur, pembagian, hukum tentang hal ihkwal yang di selidiki melalaui
penegindraan dan di buktikan melalau kebenaran riset.
Oleh sebabab itu wajar saja jika ilmu dianagap sebagai akumulasi
penegetahuan. Karena ilmu lebih dalam dalam kajianya sekaligus harus di
buktikan secara ilmiyah dan nayat, sedangakan penegtahuan itu haya di peroleh
dengan pengalam, entah itu pengalan yang sifatnya hanaya bersifat tidak
mendalam dan tidak bisa dijadikan kebenaran yang mutlak.
b.
Orang yang
menuntut ilmu di usahakan harus mengatau cara berfikir secara filsafat agar
tidak terpengaruh dengan begitu saja apa yang di katakan oleh pengajar atau
buku yang di bacanya. Keharusan dalam befikir secara filsafat sangat di
anjurkan kepada orang yang sedang mencari ilmu dan meragukan hal yang telah dimengerti
atau dilihat oleh indra. Karena kebenran itu bukan dari pengelihatan saya namu
banyak alat untuk mengetahiu sesuatu. Namun juga harus berfikir scara ilmiyah
juga.
4.
A. Paradikma
Ilmu Moderen
Secara
historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana
dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik
kualitatif (1996:3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali
dari jaman
Aristiteles
sampai David Hume, dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara
pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen
terhadap lingkungan. Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme,
dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian
kuantitatif, yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang
dunia kenyataan. Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post
positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan
ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity)
sebagaimana diyakini positivisme.
Namun
demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah
positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi,
Majalah Matahari)
Dilihat
dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan
yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma
kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif.
Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati
paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma
teoritis sama dengan paradigma kritis.
Dari
segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif
sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat
partisipan, demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak
kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.
Namun
demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma
positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan
sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini, akan tetapi tidak berarti paradigma
lainnya tidak berperan, peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak
dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik, hal ini terlihat dengan
berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong berkembangnya
penelitian kualitatif. oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut
tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi, hal
ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di
dalamnya.
B. Penegertiaan ontologi, epistemologi
dan aksiologi
1. Ontologi
Ontologi adalah the
theory og being que being (teori tentanag keberadaan sebagai keberadaan).
Teori tentang sesuatu atau hal yang nyata dalam kehidupan. Objeknya adalah yang
ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal,
ada mutlak, termasuk komologi dan metafisika dan ada sesudah kemataian maupun
sumber segala yang ada yaitu Tuhan yang maha esa.
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang
yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat
metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada
dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari
inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Contoh: “Apa”
2. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Manusia tidak lah memiliki
pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan
“bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?
3.
Aksiologi
Teori tentang nilai-nilai yang di maksud adalah, sesuatu
yang di miliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbanagan tentang apa yang
dinilai. Objeknya tentang maslah nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya: nilai
moral, nilai agam, nilai keindahan (estetika). Bagaimana dan untuk apa?
(manfaatnya).
Bagaiman kaitan antara cara pengunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Contoh: untuk apa kamu punya burung?