MAKALAH PEMIKIRAN DASAR TENTANG TASAWUF DAN AKHLAK

A. PENGANTAR
Pada saat sekarang ini kita di harapkan mengetahui apa sebenarnya yasawuf itu dan dari mana asal mulanya tasawuf. Serta kita bisa mengambil inti dari tasawuf dalam kehidupan sehari-hari dan bisa kita mempraktekkan dalam tingkah laku kita khususnya pada zaman sekarang ini.
Setelah tersebar keyakinan bahwa ketika mengambil Barat, maka kita juga harus mengambil akhlak darinya. Oleh karena itu kita telah bergerak untuk mengikuti jejak madzab-madzab dan filsafat-filsafat moral di dunia Barat mereka mempersenbahkan banyak type kepada kita, seperti akhlak paragmatisme dan akhlak opurtunisme, di samping filsafat-filsafat yang di dasarkan kepada pemikiran-pemikiran tentang kemerdekaan individu, dan Aktualisasi diri dalam menghadapi yang lain serta menghadapi alam yang misterius dan bergolak. Banyaknya pendapat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang masuk ke dalam islam. Sebagian penulis berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material.
Sedangkan dalam kalangan orientalis Barat di kenal dengan sebutan “sufisme“ kata sufisme merupakan istilah khusus Mistisme islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.
Untuk itu kami disini akan menguraikan tentang, arti tasawuf, arti akhlak, pemikiran-pemiran dasar tasawuf dan akhlak, dan perbandinganya. Walaupun penjelasan disini tidak menjawab tentang pemikiran secara mendetail, tapi sedikit membatu anda tentang hal ini.
1.      Apa pengertian Tasawuf?
2.      Apa pengertian Akhlak?
3.      Siapa pemikiran dasar tasawuf?
4.      Siapa pemikiran dasar akhlak?
5.      Apa Hubungan tasawuf dengan akhlak?

 
B.  PEMIKIRAN DASAR TENTANG TASAWUF

1.    Pengertian Tasawuf
Secara bahasa tasawuf menurut para ahli ternyata berbeda pendapat, dapat di lihat menjadi beberapa pengertian:
Tasawuf berasal dari istilah yng di konotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah  yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi masjid dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Ada yang mengatakan tasawuf tu berasal dari “safa” kata safa ini berbentuk fiil mabni majhul sehngga menjadi isim mutlak dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti sebagai nama orang yang bersih atau suci maksudnya orang-orang yang menycikan dirinya di hadapn Allah.
Ada juga yang nengatakan tasawuf dari kata “shuf” ynag berarti bulu domba atau wol.

Dari beberapa term di atas, yang banyak di akui kedekatannya dngan makna tasawuf yang di pahami sekarang ini adalah term “shuf” mereka senderung mengakui term ini.
Barrmawie Umarie, mengatakan bahwa dari term di atas, belum ada yang menggoyahkan pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari wazan tafa’ul, yaitu tafa’ala yatafa’alu tafa’ulan dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan.
Barrmawie Umarie lebih lanjut menegaskan bahwa tasawf dapat berkonotasi makna dengan “tshawwafa arrojulu” artinya seorang laki-laki telah mentasawuf. Maksudnya seorang laki-laki telah pindah dari kehidupan biasa menuju kehidupan  suffi. Sebab para suffi bila telah memasuki lingkungan tasawuf mereka mempunyai simbol-simnol pakaian dari bulu, tentu belumlah Wol, melainkan hampir menyamai goni dalam kesederhanaanya.
Berdasarkan istilah pengertian tasawuf telah banyak di rumuskan oleh ahli, Al Junaidi mengatakan, tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanaan makhluk, berjuang menanggalkan budi yang asal (instik) kita memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjahui segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat memakai barang yang penting dan berlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegand teguh janji dengan Allah dalm hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.
Jadi jika di simpulkan ilmu tasawuf ialah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu mencari dalam kesucian dengan makrifat menuju ke abadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rsulullah dalam mendekatkan diri  mencapai ridhoNya.
2.    Pemikiran Dasar Tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan benar dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, terlebih dahulu harus difahami tentang dua hal yang melandasi ajaran tasawufnya. Lantaran penilaian dan pengertian yang didapat merupakan pengantar untuk mengetahui dasar-dasar ajaran tasawufnya dengan benar. Dua hal dimaksud adalah :
a.    Tentang landasan bangunan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf, yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf, dimaksud dalam ajaran thariqatnya.
Pengkajian menyangkut tasawuf falsafi, bukan sesuatu hal yang sederhana, sebab pengkajian ini sudah masuk dalam wilayah pemikiran; dan kaum thariqat, terlebih ummat Islam pada umumnya yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki wilayah ini sangat terbatas. Keterbatasn ini, ditunjukan dalam sejarah pekembangan pemikiran Islam khusunya bidang tasawuf, banyak ummat Islam, menilai, bahwa tasawuf falsafi dianggap sebagai pemikiran yang menyimpang dari ajaran syari’at Islam.
Dasar-dasar tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm. Dua hal ini telah dibahas oleh sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn al-Farid dan ibn Arabi. Tentang pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan dalam amalan shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih dan shalawat jauhrat al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini disamping kontropersial, ia juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan apabila Syekh Ahmad al-Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang, termasuk muridnya yang ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan thariqatnya.
 Untuk itu Syekh Ahmad al-Tijani menegaskan :

إِذَا سَمِعْهتُمْ عَنِّى شَيْأً فَزِنُوْهُ بِمِيْزَانِ الشَّرْعِ فَمَا وَافَقَ فَخُذُوْهُ وَمَاخَالَفَ فَاتْرُكُوْهُ

Artinya : “Apabila kamu mendengar apa saja dariku, maka timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia cocok, kerjakanlah dan apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”
Menurut KH. Fauzan, penegasan Syekh Ahmad al-Tijani ini merupakan pertanggung jawaban yang terbuka, lapang dada dan menyeluruh terhadap ajaran yang dikembangkannya. Sedangkan KH. Badruzzaman melihat bahwa penegasan Syekh Ahmad al-Tijani tadi menunjukan pertaggung jawabannya bahwa segala sesuatu yang diungkapkannya mempunyai dasar-dasar syari’at.
Hemat penulis, penegasan Syekh Ahmad al-Tijani di atas dilatarbelakangi dua hal : Pertama; Ia sendiri menyadari banyak ungkapan-ungkapan pengalaman spiritual dan fatwanya, akan sulit dijangkau oleh pemahaman masyarakat umum. Untuk itu, beliau menekankan untuk senantiasa mengembalikan kepada tatanan dasar syair’at. Dengan kata lain, secara terbuka dan tegas ia mengharuskan setiap orang yang akan meneliti ajarannya untuk senantiasa terlebih dahulu memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw., secara menyeluruh dan mendalam. Kedua; Penegasan tersebut, dikarenakan “kekhawatirannya”, akan terjadi salah atau kurang tepat dalam memahami pengalaman spiritual dan fatwanya-fatwanya, sehingga tidak sesuai atau salah alamat dari apa yang dimaksudkan oleh dirinya.
 Kekhawatiran ini, didasarkan atas upaya penggabungan dua corak tasawuf yang dirumuskan dalam bentuk bacaan thariqatnya sebagai mana telah disebutkan. Sejak abad ke- Hijri, ajaran taswuf terpisah menjadi dua corak yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang dalam sejarah perkembangannya masing-masing mempunyai metode tersendiri. Sebagai wali yang mengaku memperoleh maqam wali khatm, al-Quthb al-Maktum, ia menyatukan kembali dan atau mengutuhkan kembali dua corak tasawuf tersebut.
Hemat penulis, disinilah keunggulan Syekh Ahmad al-Tijani. Dan diduga peran inilah yang dimaksud dengan ungkapannya :

قدماي هتان على رقبة كل ولتى لله تعالى.

“Dua kakiku ini di atas tengkuk semua Waly Allah Swt.”
Agaknya, hal tersebut di atas, sangat diantisipasi oleh KH. Badruzzaman, ia menegaskan, bahwa dalam melihat dan memahami fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, senantiasa harus melihatnya melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah secara menyeluruh dan mendalam, lahiriyah dan batiniyah. Penegasan KH. Badruzzaman ini, didasarkan atas pengalaman dirinya dalam menganalisis Syekh Ahmad al-Tijani dan Thariqatnya; dimana sebelum merintis pengembangan ajaran thariqat tijaniyah, ia adalah “penentang yang gigih” terhadap thariqat ini.
b.      Tentang Rumusan Ajaran Tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Landasan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya :
1)    Tentang definisi tasawuf; menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah :

إِمْتِثَالُ اْلاَوَامِرِ وَاجْتِنَابُ النَّوَاهِى فِى الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ مِنْ حَيْثُ يَرْضَ لاَمِنْ حَيْثُ تَرْضَ
Artinya : “Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”.
Melalui rumusan definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada dasarnya, ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh, sebagai sarana menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah batin, adalah sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab pada bagian lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut dalam qalbu para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sejalan dengan pendapat ini, al-Tusturi (w. 456 H.) mengatakan bahwa ilmu tasawuf dibangun melalui kekuatan keterikatan terhadap Qur’an dan Sunnah.Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at, ia mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti ajarannya adalah memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam ahzab wa awrad, mengatakan :

والاصل الذى اسّس شيخنارصى الله المحا فظة على الشريعة علماوعملا
“Landasan pokok Thariqat Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah maupun alamiyah”
2)      Tentang penegasan ajaran tasawufnya.
Sebagai wujud penekanan keterikatan ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. Lebih tegas ia menyatakan:

وَلَنَا قَاعِدَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهَا تُنْبِئُ جَمِيْعَ اْلأُصُوْلِ اَنَّهُ لاَحُكْمَ اِلاَِّللهِ وَرَسُوْلِهِ وَلاَعِبْرَةَ فِى الحُكْمِ اِلاَّ بِقَوْلِ الله ِوقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya.
Penekanan Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan ajarannya terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah).


C.     PEMIKIRAN DASAR AKHLAK

1.      Pengertian Akhlak
Para ulamak berbeda-beda mendeinisikan akhlak terpuji yang di katakan oleh Hasan: ”akhlak yang terpuji ialah bermuka manis suka menolong dan mencegah perbuatan yang menyakiti orang lain”. Ali R.a berkata :” akhlak terpuji itu ada 3 perkara, menjauhi perkara haram, mencari rizki yang halal, dan memeberi kelonggaran pda keluarga” dan masih banyak lagi yang kesemuanya memaparkan buah dari akhlak yang terpuji bukan hakikat dari akhlak itu sendiri. Al-Ghazali mengatakan khalqu dan khuluq adalah dua kata yang dipakai secara bersamaan. Dikatakan sifulan bagus akhlak dan bentuknya maksudnya baik secara batin dan lahirnya. Yang di maksud dengan Khalk adalah lahirnya dan khuluq adalah batinya. Kareba manusia terdiri dari jasad yang bisa di lihat oleh mata dan dari roh dan jiwa yang bisa di lihat dengan mata batin. Al-ghazali mengatakan: ”akhlak adalah gambaran dari keadaan yang tertanam kuat didalam jiwa yang memunculkan suatu perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbagan”
Jika keadaan jiwa tersebut memunculkan perbuatan yang baik dan terpuji secara akal maupun syara’ maka jiwa tersebut ber akhlak baik. Jika yang muncul perbuatan yang jelek maka jiwanya berakal buruk. Al-Ghazali mengatakan “keadaan yang tertanam kuat didalam jiwa”. Karena orang yang memberikan harta satu kali, karena ada tendensi ia tidak katakan akhaknya dermawan selagi tidak tertanam kuat dalam hatinya kuat tersebut. Dan di isyaratkan munculnya suatu perbuatan dengan mudah dengan tanpa pemikiran yang panjang, karena orang yang menyerahkan harta atau menenangkan diri ketika marah dan usaha yang sungguh dan memulai pemikiran yang panjang ia tidak di katakan dermawan dan bijaksana. Akhlak bukanlah gambaran dari suatu perbuatan, betapa banyak orang yang akhlaknya dermawan tetapi tidak memberikan harta, mungkin karena kehilangsn harta atu ada sesuatu yang menghalanginya dan mungkin akhlaknya kikir tetapi menyerahkan hartanya adakalanya karena sesuatu tendensi atau pamer.
2.       Pemikiran Dasar Tentang Akhlak
Penyelidikan ahli-ahli filsafat Yunani kuno tidak banyak memperhatikan pada akhlak, kebanyakan penyelidikannya mengenai alam Socrates (469- 399 SM) dengan menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan di dalam akhlak dan hubungan manusia satu dengan lainnya.
Dia berpendapat bahwa yang seharusnya berpikir adalah perbuatan yang mengenai kehidupan. oleh karena itu, dikatakan.
“la menurunkan filsafat dari langit ke bumi”.
Socrates sebagai pembangun (perintis) ilmu akhlak. la orang pertama yang berusaha dengan sungguh-sungguh, membentuk perhubungan manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan kepada ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa “Keutamaan itu ialah ilmu”.
Golongan yang lahir sesudah Socrates ialah “Cynics” dan “Cyrenics”. Cynics adalah pembangun paham mereka ialah Antisthenes, yang hidup pada 444 – 370 SM.  Di antara pemimpin paham ini yang terkenal ialah Diogenes,
Lalu datang Plato pada (427 – 347 SM). Dia seorang ahli tilsafat Athena, dan murid dari Socrates. Dia telah mengarang beberapa buku, yang masih terdapat dalam masa ini, dalam bentuk percakapan. Bukunya yang penting ialah buku “Republic”. Buah pikirannya dalam akhlak termuat dalam percakapan itu, bercampur dengan penyelidikannya mengenai filsafat. Pandangannya di dalam akhlak berdasar “teori contoh”. Jelasnya dia berpendapat bahwa di belakang alam lahir ini ada alam lain ialah alam rohani. Tiap-tiap keujudan berbadan, sebagai gambaran contoh yang tidak berbeda dalam alam rohani.  Dia mencocokkan itu dengan akhlak, maka ia berkata: Di antara contoh ini adalah contoh untuk kebaikan. Yaitu arti yang mutlak, azali, kekal dan amat sempurna. Tiap-tiap bentuk perhubungan manusia itu dekat kepadanya dan beroleh sinar cahayanya, maka ia lebih dekat kepada kesempurnaan. Untuk memahamkan contoh ini, menghajatkan kepada latihan jiwa dan akal. Oleh karena itu, tidak akan mengetahui keutamaan di dalam bentuknya yang baik kecuali orang ahli fikir (ahli filsafat).
Plato berpendapat bahwa di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan kekuatan itu dan tunduknya kepada hukum akal. Dia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan itu ada empat:
a.   Hikmah kebijaksanaan
b.  Keberanian
c.   Keperwiraan
d.  Keadilan
kemudian di susul oleh Aristoteles pada (394-322SM) dia menyelidiki dalam akhlak dan mengarangnya, dia perpendapat bahwa tujuan berakhir yang di kehendaki oleh manusia mengenai segala perbuatan ialah “Bahagia”
Aristoteles dating “Stoics”dan “Epicuric” mereka berbeda penyelidikannya dalam akhlak.
Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Erooa Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tersebut dalam Taurat. Dermkian juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan sumber segala akhlak Tuhan Allah yang membikin segala patokan yang harus kita pelihara dalam bentuk perhubungan kita. dan yang menjelaskan arti baik dan arti jahat. perbedaan itu yang terpenting ialah mengenai dorongan jiwa buat melakukan perbuatan.
Agama Nasrani mengharapkan kepada manusia supaya usaha dengan sungguh-sungguh untuk mensucikan dirinya, baik pikiran maupun perbuatannya.

D.    HUBUNGAN DASAR TASAWUF DENGAN AKHLAK

Jika ilmu Tasawuf dihubungkan dengan akhlak, maka seseotang menjadi ikhlas dalam berama dan berjuang semata-mata karena Allah, bukan karena maksud lain. Hal-hal yang harus di amalkan manusia biasanya di jelaskan dalam ilmu akhlak, termasuk  persoalan kemasyarakatan dan jalan hidup yang harus di tempuh manusia. Jelaslah bahwa akhlak adalah permulaan dari tasawuf dan tasawuf adalah ujung dari akhlak.
Kaum sfi memandang ajran islam dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonia) dan aspek batiniah (spiritual), yang di sebut juga sebagai aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalam merupakan pengalaman yang paling utama dengan tidak mengabaikan aspek luarnya untuk membersihkan jiwa. Dari sinilah seseorang merasa rindu kepada Tuhan dan bebas dari egoisme.
Menurut kaum sufi mental yang kotor tidak bisa di terapi dari aspek lahiriah saja. Untuk itu pada tahap awal memasuki kehidupan sufi, seorang murid di haruskan melakukan amalan dan latihan keruhanian yang cukup berat.
Sistem pembinaan akhlak dalam dunia sufi disusun sebagai berikut :
a.       Takhalli, yaitu langkah membersihkan diri, misalnya dengan taubat. Hati di hiasi dengan rasa ikhlas dan jiwa dengan muhasabah.
b.      Tahali, yaitu langkah menghiasi diri dengan takwa. Hati di hiasi dengan siddiq dan jiwa di hiasi dengan musyahadah .
c.       Tajalli, yaitu langkah menatapkan mempedalam , dan memelihara diri dengan istiqomah. Hati dihiasi dengan tuma’ninah,  dan jiwa ma’rifah.
Demikianlah hubungan tasawuf dengan akhlak. Dengan takhlli dalam rangkaian sistem pendidikan mental, seorang sufi berlatih menguasai nafsu serta akses negatifnya. Dengan tahalli, seseorang dufi menghiasi diri dan mengisi kalbu dengan sifat siddiq dengan sifat luhur lainya menuju manusia paripurna. Selanjutnya dengan tajalli seseorang sufi memperdalam rasa ke-Tuhanannya, antara lain dengan munajat, dzikir maut, istiqomah, tumakninah, dan ma’rifah.

E.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.    ilmu tasawuf ialah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu mencari dalam kesucian dengan makrifat menuju ke abadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rsulullah dalam mendekatkan diri  mencapai ridhoNya.
b.    akhlak adalah gambaran dari keadaan yang tertanam kuat didalam jiwa yang memunculkan suatu perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbagan.
c.    Dasar-dasar tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm. Dua hal ini telah dibahas oleh sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn al-Farid dan ibn Arabi. Tentang pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan dalam amalan shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih dan shalawat jauhrat al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini disamping kontropersial, ia juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan apabila Syekh Ahmad al-Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang, termasuk muridnya yang ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan thariqatnya.
d.   Ilmu dasar akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan kepada ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa “Keutamaan itu ialah ilmu”.
e.    hubungan tasawuf dengan akhlak. Dengan takhlli dalam rangkaian sistem pendidikan mental, seorang sufi berlatih menguasai nafsu serta akses negatifnya. Dengan tahalli, seseorang dufi menghiasi diri dan mengisi kalbu dengan sifat siddiq dengan sifat luhur lainya menuju manusia paripurna. Selanjutnya dengan tajalli seseorang sufi memperdalam rasa ke-Tuhanannya, antara lain dengan munajat, dzikir maut, istiqomah, tumakninah, dan ma’rifah.










REFRENSI

·         Anwar Rosihon, dkk. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2004
·         Toriquddin Mohammad, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Moderen,Malang:  UIN Malang Press, 2008
·         http//www. Para Pemikir Dasar Tasawuf.com. Diakses  2011-maret-29
·         http//www. Pemikiran   Dasar akhlaq.com. Diakses 28 Maret 2011

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel