ISLAM SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN
Saturday, March 10, 2018
Oleh: HERIYANTO[2]
Setiap
masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai,
aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang membentuk pola fikir dan berprilaku
para anggotanya. Dalam kehidupan social, biasanya seperangkat nilai ,aturan,
dan kepercayaan itu teralirkan dari satu generasi - kegenerasi melaluli proses
sosialisasi yang akhirnya membentu tradisi ditengah masyarakat. Itu sebabnya,
sebagai konsep sosiologis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview)
yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola
berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidup.
Sayogyanya ketika nilai, aturan, dan sistem kepercayaan itu sesuai dengan kontekstual (sesuai realita)maka kehadiran kedamain, keadilan, dan kemakmuran pastilah menjadi suatu keniscayaan. Namun secara sederhana saja kita memandang dibumi Indonesia yang tercinta, beribu ketimpangan (ekonomi, social, polilitik, dan budaya) yang membuat kita miris melihatnya, belum lagi ketika kita mendengar, melihat berita internasional peperangan yang tak kunjung usai, ekploitasi ekonomi dan banyak tindakan-tindakan lain yang tidak memanusiakan manusia. Melihat kejadian demikian pasti ada yang salah dalam pemahaman nilai-nilai, aturan-aturan dan sistem kepercayaannya dalam masyarakat demikian.
Dari sekelumit
rangkaian kata diatas kami mengajak kepada sahabat2 peserta Pelatihan
Kader Dasar (PKD) untuk mencoba memahami teologi pembebasan, sebab menurut kami akar permasalahan yang
terjadi dimasyarakat pada saat ini
adalah kurangnya interpretasi terhadap
agama, agama masih dianggap cek kosong yang hanya menjual symbol, seperti gaung
formalisasi syariat yang membahana dalam konteks politik mutakhir. Padahal
agama harus menghadirkan kesadaran moral dan etis yang memberikan direction bagi
pembebasan dan pembelaan terhadap public , karena itu,beragama tidak cukup
hanya membela tuhan, akan tetapi yang jauh lebih penting membela kemaslahatan
umum[3].
Kedepannya harapan kami kader PMII dapat mendialogkan agama,
mengkontekstualkan agama. Dangan
gagasan-gasan yang tetap setia pada Al-qur`an serta memperhatikan nilai spiritual dan
intelektualnya. Dengan demikian
kader mujahid PMII dapat
menjadi promotor, penggerak
dilingkungannya, dan mengilhami
sekalian alam. Dengan demikian kader mujahid
PMII dapat menjadi rahmat al-`alamiin…
(
ان يكون فرد مصدر خير لجماعته )
Pengertian
dan Sejarah Tiologi
Teologi
Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis,
teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang
berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan
hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan
merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development)
yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan
kapitalistik[4].
Teologi
Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial,
ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika
Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah
menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam.
Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup
membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil.
Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada
saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan
pandangan-pandangan dari luar[5]
Teologi
Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan
bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja
untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal
Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara
tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah
Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino
(El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara
akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang
khas Amerika Latin[6]..
Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang
berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional[7],
menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak,
dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap
hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi,
mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur
kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut
mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang
tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat
beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan
perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan
keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku… Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus
adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang
miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah
dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang
Yahudi.
Pengikut
Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis
marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan
mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain
mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama
sebagai candu masyarakat[8].
Islam
sebagai Teologi Pembebasan
Islam
datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam
kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya.
Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai
beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi.
Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif[9].
Diawali pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah
kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini
kemudian dikenal sebagai pandangan kaum Qadariyah. Sedangkan pandangan
ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum Jabbariyah.
Dalam
masa kekholifahan Muawiyyah, Pandangan Jabariyah ini sengaja diintrodusir oleh
penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni
banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan
Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham Qadariyah[10].
Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan
spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan
terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat
persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan
pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan
secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu[11].
Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian
kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para
penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak
berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab
diperlakukan secara diskriminatif[12].
Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari
perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang
keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidak mungkinan adanya Tuhan selain Allah,
tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis.
Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin,
memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak
dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan
lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka,
dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah
candu masyarakat[13].
Perjalanan
umat islam sudah cukup panjang, sudah barang tentu produk historis umat islam
dalam aspek ini diakui sudah sedemikian kaya, namun kita harus mempertanyakan
sejauh mana efektifitas sistem-sistem teologi tersebut dalam memberikan makna
bagi keberagamaan umat. Karena pengaruh
lingkungan dalam konteks social tertentu bisa jadi suatu sistem teologi memang
relevan, tetapi sekaligus juga mungkin tidak relevan atau bahkan palsu bagi
agama yang ia coba rumuskan doktrin-doktrinnya. Sebab itu rumusan teologi
menstinya merupakan pancaran nilai-nilai agama itu sendiri. sejalan dengan ini
maka teologi islam haruslah berupa gagasan-gagasan yang setia pada apa yang ada
dalam al-qur`an dengan catatan orang
yang mengambilnya dapat merasa sesuai baik secara spiritual maupun intelektual[14] .
dengan demikian tiologi yang tidak dapat diverifikasi secara rasional dan moral
patut direkronstuksi kembali.
Dengan
melihat kondisi diatas, maka sangat menarik apabila kita membaca teologi
pembebasan yang coba ditawarkan Asghar Ali Engineer, seorang tokoh intelektual
yang berasal dari India. Teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis dari
pada teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep
yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut
interaksi dialektis antara “apa yang ada” (is) dan “apa yang seharusnya”
(ought). Engineer menyatakan bahwa Islam yang sekarang ini diwarnai dengan
ketidak jelasan metafisiko-teologis (metaphysico-theological obfuscations),
sementara karakter ideologis Islam adalah semangat anti status quo. jihad pada
hakikatnya bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan
status quo.
Teologi
pembebasan (theology of liberation) menurut Engineer[15]menitik
beratkan pada empat hal. Pertama, teologi pembebasan dimulai dengan melihat
kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan
status quo yang melindungi golongan kaya dan meminggirkan golongan miskin.
Dengan kata lain teologi pembebasan ini anti kemapanan (establishment), baik
itu kemapanan relijius maupun politik.
Ketiga,
teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan
tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan perjuangan kelompok ini dan
membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang
menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep
metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui
konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Teologi pembebasan
mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar antara
kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai
pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Wujud
teologi pada masa kini umumnya dikuasai oleh orang-orang yang sangat mendukung
status quo. Teologi cenderung tampak sangat ritualis, dogmatis, dan bersifat
metafisis yang membingungkan. Dengan wajah seperti itu, agama sama dengan
mistik dan menghipnotis umat. Disinilah fungsi teologi pembebasan untuk
memberikan kemerdekaan atas praktik keagamaan seperti diatas.
Agama
tidak boleh berhenti pada urusan akhirat semata, tetapi juga tidak boleh semata-mata
berurusan dengan masalah duniawi. Agama dituntut untuk dapat menjaga relevansi
dua hal tersebut. Historisitas dan kontemporerisitas agama di satu sisi, dan
urusan duniawi serta akhirat di sisi lain, harus disatukan sehingga menjadi
sebuah agama yang hidup dan dinamis.
[2] Ketua Umum PC.Pmii Cabang
Jombang, Periode 2012-2013
[3] Zuhairi Misrwi, Lembaga
Study Islam Progresif (LSIP), Jakarta
[4] Francis Wahono
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode dan Isinya, (Yogyakarta:LKiS,
cet.II, 2008), hlm. 8-9
[5] Micheal Lowy, Tiologi
Pembebasan, (Yogyakarta: pustaka pelaja, 1999), hlm. 40
[6] Frans Magnis Suseno, Pemikiran
Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionism, (Jakarta:
gramedi, 1999), hlm. 26
[7] Francis Wahono
Nitiprawiro, hlm. 37
[8] Micheal Lowy, hlm. 156
[9] Asghor ali engineer, islam
dan teologi pembabasan , (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1999), hlm X
[10] Asghor ali engineer, hlm.
15-19.
[11] E. kusnadiningrat, teologi
pembebasan, gagasan islam kiri hasan hanafi, (Jakarta: logos, 1999), hlm.
29-30
[12] Asghor ali engineer, hlm.
55.
[13]
Asghor ali engineer, hlm. 29.
[14]
Fazlur Rahman, islam and modernity, (Chicago: Chicago university press, 1982),
hlm.155
[15]
Asghor ali engineer, hlm. 1-2