ISLAM SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN


Oleh: HERIYANTO[2]
           Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang membentuk pola fikir dan berprilaku para anggotanya. Dalam kehidupan social, biasanya seperangkat nilai ,aturan, dan kepercayaan itu teralirkan dari satu generasi - kegenerasi melaluli proses sosialisasi yang akhirnya membentu tradisi ditengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai konsep sosiologis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidup.
           
           Sayogyanya ketika nilai, aturan, dan sistem kepercayaan itu sesuai dengan kontekstual (sesuai realita)maka kehadiran kedamain, keadilan, dan kemakmuran pastilah menjadi suatu keniscayaan. Namun secara sederhana saja kita memandang dibumi Indonesia yang  tercinta, beribu ketimpangan (ekonomi, social, polilitik, dan budaya) yang membuat kita miris melihatnya, belum lagi ketika kita mendengar, melihat berita internasional peperangan yang tak kunjung usai, ekploitasi ekonomi dan banyak tindakan-tindakan lain  yang tidak memanusiakan manusia. Melihat kejadian demikian pasti ada yang salah dalam pemahaman nilai-nilai, aturan-aturan dan sistem kepercayaannya dalam  masyarakat demikian.
 Dari sekelumit  rangkaian kata diatas kami mengajak kepada sahabat2 peserta Pelatihan Kader Dasar  (PKD) untuk mencoba memahami  teologi pembebasan,  sebab menurut kami akar permasalahan yang terjadi dimasyarakat  pada saat ini adalah kurangnya  interpretasi terhadap agama, agama masih dianggap cek kosong yang hanya menjual symbol, seperti gaung formalisasi syariat yang membahana dalam konteks politik mutakhir. Padahal agama harus menghadirkan kesadaran moral dan etis yang memberikan direction bagi pembebasan dan pembelaan terhadap public , karena itu,beragama tidak cukup hanya membela tuhan, akan tetapi yang jauh lebih penting membela kemaslahatan umum[3]. Kedepannya  harapan kami  kader PMII dapat mendialogkan agama, mengkontekstualkan agama.  Dangan gagasan-gasan yang  tetap setia  pada Al-qur`an serta  memperhatikan nilai spiritual dan intelektualnya. Dengan demikian  kader  mujahid PMII  dapat  menjadi promotor, penggerak  dilingkungannya,  dan mengilhami sekalian alam. Dengan demikian kader mujahid  PMII dapat menjadi rahmat al-`alamiin…    ( ان يكون فرد  مصدر خير لجماعته )
Pengertian dan Sejarah Tiologi
Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik[4].
Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan dari luar[5]
Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin[6].. Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional[7], menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku… Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu masyarakat[8].

Islam sebagai Teologi Pembebasan
Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif[9]. Diawali pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum Qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum Jabbariyah.
Dalam masa kekholifahan Muawiyyah, Pandangan Jabariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham Qadariyah[10]. Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu[11].
 Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif[12]. Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidak mungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat[13].
Perjalanan umat islam sudah cukup panjang, sudah barang tentu produk historis umat islam dalam aspek ini diakui sudah sedemikian kaya, namun kita harus mempertanyakan sejauh mana efektifitas sistem-sistem teologi tersebut dalam memberikan makna bagi keberagamaan umat. Karena  pengaruh lingkungan dalam konteks social tertentu bisa jadi suatu sistem teologi memang relevan, tetapi sekaligus juga mungkin tidak relevan atau bahkan palsu bagi agama yang ia coba rumuskan doktrin-doktrinnya. Sebab itu rumusan teologi menstinya merupakan pancaran nilai-nilai agama itu sendiri. sejalan dengan ini maka teologi islam haruslah berupa gagasan-gagasan yang setia pada apa yang ada dalam al-qur`an dengan  catatan orang yang mengambilnya dapat merasa sesuai baik secara spiritual maupun intelektual[14] . dengan demikian tiologi yang tidak dapat diverifikasi secara rasional dan moral patut direkronstuksi kembali.
Dengan melihat kondisi diatas, maka sangat menarik apabila kita membaca teologi pembebasan yang coba ditawarkan Asghar Ali Engineer, seorang tokoh intelektual yang berasal dari India. Teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis dari pada teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” (is) dan “apa yang seharusnya” (ought). Engineer menyatakan bahwa Islam yang sekarang ini diwarnai dengan ketidak jelasan metafisiko-teologis (metaphysico-theological obfuscations), sementara karakter ideologis Islam adalah semangat anti status quo. jihad pada hakikatnya bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo.
Teologi pembebasan (theology of liberation) menurut Engineer[15]menitik beratkan pada empat hal. Pertama, teologi pembebasan dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya dan meminggirkan golongan miskin. Dengan kata lain teologi pembebasan ini anti kemapanan (establishment), baik itu kemapanan relijius maupun politik.
Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan perjuangan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Teologi pembebasan mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Wujud teologi pada masa kini umumnya dikuasai oleh orang-orang yang sangat mendukung status quo. Teologi cenderung tampak sangat ritualis, dogmatis, dan bersifat metafisis yang membingungkan. Dengan wajah seperti itu, agama sama dengan mistik dan menghipnotis umat. Disinilah fungsi teologi pembebasan untuk memberikan kemerdekaan atas praktik keagamaan seperti diatas.
Agama tidak boleh berhenti pada urusan akhirat semata, tetapi juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi. Agama dituntut untuk dapat menjaga relevansi dua hal tersebut. Historisitas dan kontemporerisitas agama di satu sisi, dan urusan duniawi serta akhirat di sisi lain, harus disatukan sehingga menjadi sebuah agama yang hidup dan dinamis.


[2] Ketua Umum PC.Pmii Cabang Jombang, Periode 2012-2013
[3] Zuhairi Misrwi, Lembaga Study Islam Progresif (LSIP), Jakarta
[4] Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode dan Isinya, (Yogyakarta:LKiS, cet.II, 2008), hlm. 8-9
[5] Micheal Lowy, Tiologi Pembebasan, (Yogyakarta: pustaka pelaja, 1999), hlm. 40
[6] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionism, (Jakarta: gramedi, 1999),  hlm. 26
[7] Francis Wahono Nitiprawiro, hlm. 37
[8] Micheal Lowy, hlm. 156
[9] Asghor ali engineer, islam dan teologi pembabasan , (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1999), hlm X
[10] Asghor ali engineer, hlm. 15-19.
[11] E. kusnadiningrat, teologi pembebasan, gagasan islam kiri hasan hanafi, (Jakarta: logos, 1999), hlm. 29-30
[12] Asghor ali engineer, hlm. 55.
[13] Asghor ali engineer, hlm. 29.
[14] Fazlur Rahman, islam and modernity, (Chicago: Chicago university press, 1982), hlm.155
[15] Asghor ali engineer, hlm. 1-2

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel