Makalah Hukum Adat
Wednesday, January 31, 2018
HUKUM ADAT
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan
semesta alam, karena dengan karunia-Nya serta hidayah-Nya, kami selaku penulis
dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu meskipun jauh dari kata
sempurna.
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu mata kuliah hukum adat
diperguruan tinggi STAIN ponorogo, guna untuk lebih memperdalam dalam
mempelajari mengenai seputar masalah-masalah yang berada dalam hukum adat.
Baca Juga
Baca Juga
Dalam penyusunan tugas ini, penulis berusaha menghimpun beberapa
persolaan dalam hukum adat. Adapun materi yang dibahas dalam tugas ini
meliputi, hukum perseorangan dan hukum kekeluargaan, hukum perkawinan dan harta
perkawinan, waris dan sifatnya.
Dengan tujuan, penulis tidak lain untuk menambah cakrawala pandang
serta memperoleh tambahan pengetahuan bagi yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Karena itu atas segala bentuk kritik dan
saran yang bersifat membangun akan penulis tampung guna perbaikan selanjutnya
dan tidak lupa penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Mudah-mudahan tugas ini bermanfaat bagi semua, terutama bagi
penulis dan yang membacanya.
Amin, yaa robbal alamin,
Ponorogo, januari 2013
penulis
Daftar Isi
Kata pengantar...................................................................................................................................I
Daftar Isi...........................................................................................................................................II
BAB I HUKUM
PERSEORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
A.
Keturunan...................................................................................................................................1
B.
Hubungan anak dengan orang tua dan kerabay..........................................................................1
C.
Memelihara Dan Mengangkat Anak Dari Keluarga Atau Dari Orang Lain..............................2
D.
Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak........................................................................3
BAB II HUKUM
PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A.
Arti dan tujuan perkawinan dalam hukm adat............................................................................4
B.
Sistem Perkawinan Adat.............................................................................................................4
C.
Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat.......................................................................5
D.
Perceraian dan Akibatnya...........................................................................................................6
E.
Fungsi Harta Perkawinan............................................................................................................8
F.
Pemisahan Harta Perkawinan.....................................................................................................8
G.
Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami-Istri Dalam
Perkawinan.........................9
BAB III WARIS
A.
Pengertian hukum waris.............................................................................................................9
B.
Harta Peniggalan Yang Tak Dapat Dibagi-Bagi......................................................................10
C.
Penghibahan (Pewarisan) Dan Hibah Wasiat...........................................................................10
D.
Harta keluarga marga yang merupakan harta peniggalan.........................................................11
E.
Pembagian harta peninggalan...................................................................................................11
F.
Para ahli waris...........................................................................................................................11
BAB II
HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
A.
Keturunan
Di indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan :
1.
Masyarakat Keibuan,
Misalnya, Minangkabau (masyarakat yang anggota-anggotanya menarik
garis keturunan melalui garis keturunan ibu). Suatu sistem kemasyarakatan di
mana seseorang menarik garis keturunan melalui ibu, terus ke atas ke ibu dari
ibu dan seterusnya sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa ada seorang
ibu asal. Kepercayaan inilah menjadi suatu prinsip.
Di dalam segenap sistem ini, ibulah yang berkuasa atas harta benda
atas pendidikan dan keserasian dalam masalah keluarga. Satu-satunya cara
mempertahankan sistem sosial ini hanya dengan exogami. Ciri khas kawin bertandang
adalah tidak adanya haerta bersama, karena tidak ada hidup bersama, hidup rukun
bersatu di dalam satu rumah tangga.
2.
Masyarakat Kebapakan Patrilineal
Misalnya, Batak (masyarakat dengan garis keturunan bapak) yang
kedua-duanya tercakup dalam pengertian unilateral, yaitu menarik garis
keturunan melalui satu pihak saja. Hal ini merupakan suatu prinsip, suatu
kepercayaan yang bersifat magis religius dan atas prinsip ini, sistem
perkawinan adalah eksogami jujur.
Sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak yaitu
kawin jujur ini berarti suatu keharusan
laki-laki dan perempuan yang berlainan klan, dengan pemberian barang yang
bersifat magis religius. Perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan
dimasukkan ke dalam anggota klan suaminya.
Dengan pengertian pemberian, yaitu melambangkan hasrat, atau
keinginan secara hukum adat, sebagai pengganti kedudukan wanita itu di dalam
klannya.
3.
Masyarakat Bilateral atau Parental,
Menurut prof. Dr. Hazairin untuk menunjukkan kepada sistem
kemasyarakatan atau sistem penarik melalui ibu dan bapak, sama nilai dan sama
derajat.
Terbagi dalam dua kategori :
a.
Bilateral seperti di Jawa, yaitu yang terhimpun dalam
kesatuan-kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gezin.
b.
Bilateral seperti di Kalimantan/Dayak, yaitu sistem bilateral yang
terhimpun dalam unit-unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam
suatu rumah besar, disebut tribe, rumpun atau kelompok.
B.
Hubungan
Anak Dengan Orang Tua Dan Kerabat
Istilah
orang tua secara sempit dapat diartikan sebagai orang tua suami-istri, yaitu
ibu dan ayah dari anak-anak. Dan istilah orang tua dalam arti luas mencakup
saudara-saudara sekandung ayah menurut garis lelaki atau saudara-saudara
sekandung ibu menurut garis wanita, yang ikut bertanggung jawab terhadap anak
kemenakan. Jadi mengenai kedudukan suami-istri dilihat dari susunan masyarakat
kekerabatan yang bersangkutan.
Kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anak tidak
hanya terbatas sampai anak kawin dan dapat hidup mandiri, tetapi juga kalu
diperlukan walaupun mereka sudah kawin dan hidup mandiri masih tetap diberikan
bimbingan.
Hak dan kewajiban suami-istri sebagai oratng tua terhadap ank-anak
mereka adalah seimabng menurut kedudukan dan tanggung jawab masing-masing dalam
keluarga/ruamah tangga. Rasa cinta saling hormat menghormati, kesetiaan dan
saling bantu membnatu di dalam kehidupan.
Orang tua sebagai suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan ruamh tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal
30 Undang-undang nomor 1 tahun 1974). Jadi walaupun ada orang tua yang
melalaikan kewajibannya, maka tanggung jawab akan dengan sendirinya beralih
kepada orang tua yang lain menurut urutan kedudukan orang tua dan hubungan
kekerabatan yang bersangkuta.
C.
Memelihara Dan Mengangkat Anak Dari Keluarga Atau Dari Orang Lain
1.
Pemeliharaan Anak
Apabila di dalam keluarga salah satu dari kedua orang tua
meninggal, maka yang lain berkewajiban meneruskan mendidik anak-anaknya sampai
dewasa. Bila dalam hal ini timbul kesukaran-kesukaran atau bilaman tiada yang
cakap, maka di jawa dan madura untuk diangkat seorang wali oleh pengadilan
sebagaimana tercantum dalam bab II Ordonantie 31 Januari 1931 Stbl nomor 53.
Dalam penelitian di Minangkabau Ter Har menemukan anak-anak tetap
berada di bawah kekuasaan kerabat ibunya (yang mati), bapaknya kan
memperdulikan sedemikian rupa sepanjang keadaan senyatanya mengijinkan.
Di kalangan orang-orang Batak, begitu juga di Bali, isteri yang
ditinggal mati suaminya tetap sebagai pendidik anak-anaknya tinggal dalam
kerabat bapaknya. Bila kedua orang tua meninggal dunia, maka kekuasaan atas
anak-anak baik pemeliharaan dirinya maupun barang-barangnya, berpindah kepada
kepala-kepal kerabat atau tetua seluruhnya (berhubungan denag perkawinan orang
tuanya).
2.
Pengambilan Anak Atau Pengangkatan Anak
Memungut seorang anak, dari luar kerabat yang menyebabkan anak
tersebut memiliki status sosial, seperti sanak saudara biologis, adalah biasa
dilakukan di Nusantara ini. Perbuatan hukum ini dala bahasa Belanda disebut Adoptie
(mengambil anak/mengangkat anak).
Apa
yang disebut Adoptie dalam hukum adat sebetulnya adalah perjanjian
pelihara (Ver Zorgings Kontrackt). Dalam perjanjian ini pihak yang satu
(pemelihara) atau Zorggever, menanggungkan nafkah pihak yang lain
(terpelihara) atau Zorgtrekker lebih-lebih selama masa tuannya. Zorggever
juga menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sebagai
imbalan/balasannya.
Di Jawa, anak angkat tetap berhak atas warisan orang tua
kandungnya. Memungut anak perempuan bisa juga bertujuan untuk memberi
kesempatan kepada seorang anak laki-laki agar dapat menempuh perkawinan dengan
anak-anak saudaranya secara timbal balik (cross cossin huwerlijk)
seperti harapan. Demikian adopsi anak di Sumba bertujuan untuk kemungkinan
suatu perkawinan dengan seorang pemuda dari berhukum bapak (kabisu) yang lain.
D.
Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Akibat hukum
dari pengangkatan anak adalah bahwa kedudukan anak angkat demikian menjadi sama
dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya
dari orang tua angkatnya. Dan anak angkat tidak lagi mewarisi dari orang tua
kandungnya, kecuali apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak laki
lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari orang ayah bersaudara.
Sebab kebanyakan pengangkatan anak diambil dari saudara atau kemenakannya
sendiri.
Di daerah
Sumatera Selatan atau Lampung pesisir, keluarga yang hanya mempunyai anak
lelaki, dapat mengangkat anak wanita orang lain dengan tujuan untuk dijadikan
penerus dan pewaris orang tua angkatnya.
Di daerah
Rejang, Bengkulu, anak tiri bwaan istri dapat menjadi anak angkat dari suami
dengan tujuan agar si anak dapat menjadi penerus dan pewaris dari ayah tirinya.
Akan tetapi pengangkatan tersebut baru ditetapkan setelah si ayah tirinya
meninggal dunia.
Di daerah Batak
terdapat pengangkatan anak untuk sekedar menjadi warga adat, sehari-hari tidak
berakibat anak angkta mendapat warisan dari orang tua angkat.
Sejenis dengan
itu dikenal dengan adanya istilah anak akuan, anak pungut, atu anak pupon,
yaitu anak orang lain yang diakui orang tua yang mengakui karena belas kasihan.
Ada kasus dimana keluarga tersebut belum mempunyai anak, kemudian mengambil
anak orang lain untuk dipelihara sebagai anak “panutan”, yang dimaksud sebagai
anak pancingan agar bisa mendapatkan keturunan.
Kedudukan anak
akuan bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak tidak mengubah
hubunagan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya. Kecuali apabila
kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat.
Sejenis dengan
anak angkat juga ada yang dinamakan anak piara, yang disebut dengan anak
titipan. Anak titipan adalah anak yang diserahkan oleh orang lain untuk
dipelihara, sehingga orang yang menerima titipan merasa berkewajibanuntuk
memelihara anak itu, dilakukan di dalam lingkungan kerabat. Jadi pada dasarnya
status hukum dari anak itu tidak mengubah anak tersebut menjadi anak angkat.
Hubungan hukum antara anak dengan
orang tua yang menitipkan tidak berubah, dan status hukumnya tetap menjadi
waris bagi orang tua kandungnya. Hanya saja orang yang dititipi minta ganti
rugi atas penggantian biaya pemeliharaan tadi, kecuali anak tersebut yatim
piatu dll. Tujuannya bukan memperoleh keuntungan, tetapi untuk kemanusiaan
BAB III
HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A. Arti Dan Tujuan
Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan
hukum adat menurut Ter Haar adalah merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan
derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain di dalam hubungan
yang beraneka ragam.
Perkawinan
adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, yaitu melahirkan
angkatan baru yang meneruskan golongan itu.
Akan
tetapi walaupun merupakan urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan
masyarakat, perkawinan itu senantiasa juga merupakan urusan hidup perseorangan,
baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan
orang-orang yang disegani.
B.
Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan
dapa berlangsung dengan 3 sistem, pertama sistem Endogami kedua sistem Exogami
dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal)
yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Dan ketiga Pleutherogami
sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi
oleh hukum islam.
Di
lingkungan masyarakat batak, terutama yang beragama kristen, masih
mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asymentrich connibus. Sistem
perkawinan yang dianut adalah exogami.
Pada
sistem perkawinan endogami, pria diharuskan mencari calon istri dalam
lingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari
lingkungan kerabat.
Dalam
perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak
mempertahankan sistem perkawinan exogami dan endogami, tetapi ada beberapa
daerah yang masih mempertahankan sistem perkawinan tersebut.
C.
Pengaruh
Agama Islam Dalam Perkawinan Adat
Perkawinan
Hetherogami merupakan pengaruh dari hukum perkawinan islam, dimana seorang pria
tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon istri diluar atau di dalam lingkungan kerabat atau
suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau
periparan (musyrahah) sebagaimana ditentukan oleh hukum islam dan hukum
perundang-undangan yang berlaku.
Orang
tua masih menginginkan agar dalam
mencari jodoh, anak-anak mereka harus memperhatikan hal-hal yang biasa
berlaku dalam masyrakat jawa ialah harus mengenal bibit, bobot dan bebet. Bibit
dalam artian nasab atau keturunan, bobot dalam artian harta kekayaanya dan ilmu
pengetahuannya dan bebet dalam artian pekerjaan ataupun jabatan dan martabat
yang baik dan lain sebagainya.
Perkawinan
bermadu, dimana seorang pria mempunya lebih dari satu istri. Hal ini disahkan
menurut agama islam berdasarkan ayat Al Quran surat An Nisa’ ayat 3. Dengan
berlakunya UU no 1 thn 1974, ketentuan Al Quran itu disalurkan ke dalam pasal 3
yang menyatakan:
1.
Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunya seorang suami.
2.
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adapun
asas-asas perkawinan menurut hukum adat ialah:
1.
Membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekrabatan yag rukun
dan damai, bahagia dan kekal.
2.
Selain harus sah menurut
agama dan atau kepercayaan juga aharus mendapat pengakuan dari pada anggota
kerabat.
3.
Seoarang pria dapat kawin dengan bebrapa wanita sebagai istri yang
kedudukan masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.
Harus berdasarkan atas persetujuan arang tua dan anggota kerabat.
Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui mayarakat
adat.
5.
Dapat dilakukan bagi pria dan wanita yang belum cukup umur atau
masih anak-anak begitu juga walaupun sudah cukup umur dan berdasarkan atas ijin
orang tua atau kerabat.
6.
Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak boleh.
7.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasar ketentuan hukum
adat yang berlaku.
D.
Perceraian
dan Akibatnya
1.
Perceraian
Perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum agama adalan
perbuatan tercela. Bagi masyarakat batak dan lampung, persecaraian berarti
putusnya atau renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang
bersangkutan. Perceraian menurut islam adalah perbuatan yang dibenci Allah.
Didalam penjelasan pasal 39 UU no 1 thn 1974, dikatan bahwa
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a.
Salah satu berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagianya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu meninggalkan yang lainya selama 2 tahun berturut-turut
tanpa adanya kabar.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat.
d.
Salah satu melakukan kekejaman pada pihak lain.
e.
Salah satu menderita cacat atau penyakit, sehingga tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f.
Antara suami dan istri terjadi perselisihan yang terus menerus dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.
2.
Akibat-akibat Perceraian
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian, perceraian
dan putusan pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal 38 UU no 1 thn
1974.
Dalam hukum adat, pada umumnya tidak tidak ada kesamaan mengenai
akibat putusnya perkawinan itu terhadap anak-anak, kekerabatan dan harta
kekayaan perkawinan.
1)
Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a.
Di lingkungan masyarakat patrilineal
Di masyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur,
apabila putus perkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap
berada dalam kekrabatan suami, anak-anak itu adalah waris dari ayahnya.
Bila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka
penyelesaianya dilakukan oleh kerabat kedua belah pihak, dan kerabat yang lebih
menentukan adalah kerabat pihak suami.
b.
Di lingkungan masyarakat matrilineal
Sebaliknya pada masyarakat matrilineal ini anak-anak berkedudukan
dalam kekerabatan istri. Andaikata terjadi perceraian, si suami pergi
meninggalkan tempat kediaman istri, maka ia tidak berhak menguasai
anak-anaknya.
Bisa terjadi si anak ikut bersama ayahnya,
jika perkawinan ayah ibunya semula adalah berbentuk semenda. Tetapi pada
dasarnya si anak tetap berkedudukan di pihak ibu dan kerabat ibunya tidak di
pihak ayahnya. Lain halnya perkawinan semenda raja-raja, jika terjadi
perceraian, maka kedudukan dan hak waris anak dapat dipisah, yang satu
meneruskan pihak ibu.
c.
Di lingkungan masyarakat bilateral
Dalam hal ini anak-anak berkedudukan tergantung pada keadaan.
Seharusnya anak-anak dibagi di antara yang mengikuti pihak suami dan pihak
istri. Biasanya jika putusnya perkawinan akibat perceraian, anak-anak yang
sudah basar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
Didalam susunan masyarakat kekerabatan, baik menurut garis
kebapakan atau keibuan apabila terjadi putusnya, perkawinan maka nasib anak
yang ditinggalkan akan dan harus ditampung oleh kerabat ayah atau kerabat
ibunya, menurut urutan pertanggungan jawab dalam adat kekerabatan yang
bersangkutan.
2)
Akibat bagi harta perkawinan
a.
Di lingkungan masyarakat patrilineal
Bila
terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah tangga suami
tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali yang
merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri dan maskawin
atau pemberian suami ketika pelaksanaan perkawinan.
b.
Di lingkungan masyarakat matrilineal
Pada masyarakat ini yang berhak atas harta perkawinan adalah istri
atau kerabat istri. Walaupun demikian, pada masyarakat di mana terdapat
keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya, atau hidup bermata
pencarian tanpa ikatan dengan harta peninggalan (harta pusaka), maka jika
terjadi perceraian maka pembagian atas harta pencaharian, apabila peranan kedua
suami istri dalam usaha mereka bermata pencaharian itu berimbang.
c.
Di lingkungan masyarakat parental/bilateral
Jika ada perceraian maka akibat bagi harta perkawinan adalah.
1.
Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya
ke dalam perkawinan.
2.
Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang
menghasilkan.
3.
Harta
pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan
istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
Pembagian harta tersebut harus dilihat dari kepentingan anak dan
kepda siapa pemeliharaan dan pendidikan si anak diserahkan.
E.
Fungsi Harta Perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud harta perkawinan adalah harta yang
dikuasai suami istri. Selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta perhiasan
sendiri, harta pencarian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Hata perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan
oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri
dan anak-anaknya dalam serumah dan dalam rumah tangga kecil dan rumah tangga
keluarga besar.
Harta perkawinan dapat digolongkan kedalam beberapa macam:
1.
Harta yang dikuasai oleh suami atau istri sebelum nikah ( barang
bawaan)
2.
Harta yang dikuasai oleh suami atau istri setelah nikah (harta
penghasilan)
3.
Harta yang dikuasai oleh suami atau istri bersama-sama (harta
pencarian)
4.
Harta yang dikuasai oleh suami atau istri bersama ketika upacara
perkawin (hadiah perkawinan)
F.
Pemisahan Harta Perkawinan
Harta perkawinan itu digolonglkan kedalam 4 macam.
1.
Harta Bawaan
Harta bawaan ini dapat kita bedakan antara bawaan suami dan harta
bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu:
a.
Harta peniggalan
b.
Harta warisan
c.
Harta hibah/wasiat
d.
Harta pemberian/hadiah
2.
Harta penghasilan (perseorangan)
Sebelum adanya perkawinan suami atau istri adakalanya telah
menguasai atau memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun
barang bergerak, yang didapat dari hasil usaha sendiri, termasuk hutang piutang
perseorangannya.
Harta kekayaan penghasilan suami di sumatra selatan sebelum
perkawinan disebut barang pembujangan, sedangkan harta istri sebelum perkawinan
disebut harta penantian.
Di jawa barat, dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan
suami miskin, maka hasil suatu harta kekayaan hasil pencarian istri adalah hak
milik istri itu, meskipun suami telah bersusah payah membantu istrinya.
Sebaliknya di daerah jawa tengan jika suami yang kaya dan istri
yang miskin. Semua hasil pencarian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan
adalah milik suami sendiri meskipun istri bersussah payah membantu suami, istri
hanya mendapatkan pemberian suami atas dasar belas kasih.
3.
Harta pencarian (bersama)
Harta yang diperoleh dari usaha suami istri membentuk dan membangun
rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal mereka berusaha dan mencari rezeki
bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan terwujud harta
kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.
4.
Hadiah Perkawinan
Segala harta pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan
hadiah perkawinan, baik yang berasal dari pemberian para anggita kerabat.
Tettapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu
maka hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai
wanita dan yang diterima oleh kedua mempelai tersebut ketika upacara
perkawinan.
G.
Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami-Istri Dalam
Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam
perkawinan tergantung siapa yang memperolehnya. Andaikata jika harta tersebut
diperoleh oleh suami dan istri dengan bersama-sama, maka harta tersebut menjadi
milik bersama.
Bab IV
WARIS
A.
Pengertian
hukum waris
1.
Pengertian
Pengertian hukum waris adat adalah memuat garis-garis ketentuan
sistem sistem asas-asas waris tentang harta warisan/hukum penerusan harta
kekayaan darib satu generasi kepada keturunnnya.
Ø
Menurut ter haar adalah, aturan-aturan hukummengenai cara bagaimana
dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun
tidak dan dari antar generasi.
Ø
Menurut soepomo adalah, peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang yang tidak berwujud benda/immaterial goenderen
dari satu generasi pada keturunannya.
Mr
wirjono projodikoro, waris adalah tentang apa dan bagaimana hak-hak dan
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu dia meninggal dunia akan
beralih pada orang lain yang masih hidup. Sesungguhnya arti waris adalah
disudutkan pada hukum islam atau dari KUHPerdata/BW.
2.
Sifat
hukum waris
Sifat hukum waris, yaitu mempunyai corak dan sifat tersendiri dibanding
dengan KUHPerdata. Harta warisan adat terdiri ari harta yang dapat dibagi dan
tidak dapat dibagi antara penguasaan dan pemiliknya. Harta warisan yang tidak
terbagi adalah milik bersama para waris, dan tidak boleh dimiliki secara
perorangan melainkan hanya memiliki secara hak pakai saja. Hukum waris adat
tidak mengenal legitieme porttie/bagian mutlak sebagaimana hukum waris BW.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu
menuntut agar harta warisan diberikan pada para waris sebagaimana dalam
KUHPerdata pasal 1066 dan hukum islam.
B.
Harta Peniggalan Yang Tak Dapat Dibagi-Bagi
Harta peninggalan yang tak dapat dibagi, sistem hukum adat
menjelaskan larangan pembagian harta warisan yang menghendaki bahwa harta
tersebut merupakan harta turun temurun, tidak boleh dimiliki seseorang atau
disebut dengan harta bersama/kolektif karena setiap anak yang lahir adalah
pemilik/harta pusaka (rumah, tanah, kebun serta sawah dan ternak). Seperti
halnya diminangkabau bila yang meninggal mempunyai harta sawah maka sawah
tersebut bukan sebagai sawah perorangan melainkan sebagai milik bersama oleh
ahli warisnya.
Beberapa bentuk bahwa warisan tidak dapat dibagi-bagi dikarenakan:
·
sebab wujud dan sifat sebagai atribut kesatuan ahi
waris/kekerabatan adat.
·
Wujud dan sifat sebagai milik bersama suatu kerabat kecil yang
berfungsi dan berperan sebagai tali pengiat persatuan keluarga.
·
Maksud dan tujuan untuk tetap menghormati orang tua yang masih
hidup sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota dan menjadikannya sebagai
kediaman.
C.
Penghibahan (Pewarisan) Dan Hibah Wasiat
Penghibahan/pewarisan dan hibah wasiat, perbuatan penghibahan yang
paling sederhana ialah penyerahan tanah terhadap seorang anak yang berhak atas
tanah warisan. Tentang tanah yang kembali jatuh pada si penghibah bilamana
orang yang dihibahi meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak sebagau
pemberlakuan aturan-aturan hukum waris atau barang asal. Hibah wasiat dapat
dilakukan ketika seorang penghibah masih hidup dengan cara orang yang
menghibahkan berpesan agar sebagian tertentu dari kekayaan yang ada
diperuntukkan bagi salah satu dari ahli waris sejak saat matinya si peninggal
wartisan kelak. Ada dua corak dalam hibah wasiat, yaitu:
a)
Mereka yang menerima barang-barang harta, isteri dan anak-anak yang
disebabkanpewarisan hibah wasiat hanya merupakan perpindahan /verschuiving
harta benda dalam lingkungan ahli waris.
b)
Dalam
penetapan barang mana yang akan diberikan pada setiap masing-masing anak atau
kepada istri adalah bebas.
D.
Harta keluarga marga yang merupakan harta peniggalan
Harta keluarga marga yang merupakan harta peninggalan, jika seorang
suami dalam suatu keluarga telah meninggal dan anak sudah dalam keadaan
mandiri/ekonomi mapan maka seorang
isteri memiliki hak istimewa yaitu menguasai rumah serta berhak memegang harta
benda yang ditinggalkan suami
E.
Pembagian harta peninggalan
Pembagian harta peninggalan, dapat dilakukan ketika urusan yang
sebagai kewajiban yang meninggal sudah terselesaikan, yang biasanya dilakukan
oleh ahli waris bersama dan tdak sesuai dengan ketentuan yang ada, melainkan
dengan kebaikan hati yang diberikan kepada paling kurangberuntung nasibnya.
Suatupembagian waris yang tidak ada kesepakatan antara ahli
waris untuk dibagikan atau tidak maka
perkara dapat diajukan lewat hakim dusun/dorpsechter atau hakim
jabatan/bereopsrechter agar memperoleh peenyelesaian.
F.
Para ahli waris
Para ahli waris, adalah semua orang yang akan menerima penerusan
dan pembagian warisan baik ahli waris maupun bukan. Pada umumnya yang berhak
mewaris adalah anak termasuk yang masih dalam kandungan jika lahir tetap hidup.
Adapun yang tigak dapat aris adalah anak tiri, anak angkat, anak piara, waris
baku, kemenakan dan waris pengganti/ cucu ayah ibu.
Perbedaan golongan mewarisi dalam tiap daerah berbeda-beda antara
lain:
1.
Anak kandung (anak dalam perkawinan yang sah), jika diluar
perkawinan tidak dapat. Terdiri dari:
v
Anak sah (anak dari dalam perkawinan yang sah sesuai agamanya).
v
Anak tidak sah, hanya punya hubungan perdata dengan ibu.
v
Waris anak laki-laki, sistem patrilineal dan perkawian jujur.
Dibatak, bali, lampung, nafri(jaya pura).
v
Waris anak perempuan, sistem matrilineal/perkawinan semenda. Jika
tidak punya anak perempuan maka salah satu dar anak leleki diambilkan dari
istri/semendo ngangkit.
v
Wanita anak laki-laki dan perempuan,sistem parental yang memiliki hak yang sama, di jawa kalimantan
dan minahasa.
v
Waris anak sulung, menghargai karena sebagai pengganti orang tua
namun jika masih kecil maka dipertanggung jawabkan pada kakek dan neneknya.
v
Anak sulung pria, sebagai penanggung jawab/kepala keluarga. Di
lampung adat pepandun, bali.
v
Anak
sulung wanita,sebagai penunggu harta peninggalan orang tuaatunggu tubang. Di
sumatra selatan adat semando.
v
Waris anak pangkalan dan anak bungsu, sebagai orang pertama dan
kedua mengurus kepala keluarga. Kalimantan adat dayak.
2.
Anak tiri dan anak angkat, berdasar keputusan landraad purworejo 17
agustus 1937 tidak berhak dalam mewarisi harta bapak tiri tetapi mendapat
penghasilan harta penghasilan bapak tiri kepada ibu sebagai nafkah janda.
v
Anak tiri, tidak dapaat mewarisi namun ikut menikmati kesejahteraan
bersama bapak/ibu tiri dan saudara tiri. Di lampung selatan perkawinan
levirat(istri dari kakak yang wafat dikawini adiknya).
v
Anak angkat, mendapat waris sesuai kehendak bapak/ibu tiri.
v
Anak angkat mewarisi, anak angkat tegak tegi keturunan penerus
bapak angkat/bertanggung jawab atas harta bapak angkat dan berhak sebagai waris
jika sudah diresmikan dengan upacara adat.
3.
Waris balu janda/duda, yang antara mewarisi atau tidak ditentukan
oleh sistem kekerabatan dan perkawinan yang dianut.
v
Balu sistem patrilneal, dengan perkawinan jujur maka janda boleh
tetap menikmati harta suami sampai akhir hayatnya jika tidak melangsungkan
perkawinan dengan yan lainnya. Di batak, lampung, bali.
v
Balu sistem matrilineal, dengan perkawinan semenda/mengawini
saudara istri jika tidak harta diurus oleh mamak dari istri. Di minangkabau.
v
Balu sistem parental, mendapat harta bersama dan berhak menguasai,
menikmati mengatur dan membagi mengatur harta waris.
4.
Para waris lainnya, terdapat beberapa garis-garis lingkungan yaitu,
garis kebapakan(anak laki-laki dan keturunan laki kebawah), garis keibuan(kaum
wanita, anak wanita da n keturunan wanitanya), garis campuran kebapakan dan
keibuan dengan sistem waris individual (pria dan wanita sama-sama mewarisi
dengan pertalian darah dan hubungan keluarga dengan pewaris)