Makalah Hukum Adat



HUKUM ADAT
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, karena dengan karunia-Nya serta hidayah-Nya, kami selaku penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu meskipun jauh dari kata sempurna.
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu mata kuliah hukum adat diperguruan tinggi STAIN ponorogo, guna untuk lebih memperdalam dalam mempelajari mengenai seputar masalah-masalah yang berada dalam hukum adat.
Baca Juga
Dalam penyusunan tugas ini, penulis berusaha menghimpun beberapa persolaan dalam hukum adat. Adapun materi yang dibahas dalam tugas ini meliputi, hukum perseorangan dan hukum kekeluargaan, hukum perkawinan dan harta perkawinan, waris dan sifatnya.
Dengan tujuan, penulis tidak lain untuk menambah cakrawala pandang serta memperoleh tambahan pengetahuan bagi yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Karena itu atas segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis tampung guna perbaikan selanjutnya dan tidak lupa penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Mudah-mudahan tugas ini bermanfaat bagi semua, terutama bagi penulis dan yang membacanya.
Amin, yaa robbal alamin,



Ponorogo,    januari 2013


penulis





Daftar Isi
Kata pengantar...................................................................................................................................I
Daftar Isi...........................................................................................................................................II
BAB I HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
A.     Keturunan...................................................................................................................................1
B.     Hubungan anak dengan orang tua dan kerabay..........................................................................1
C.     Memelihara Dan Mengangkat Anak Dari Keluarga Atau Dari Orang Lain..............................2
D.     Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak........................................................................3
BAB II HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A.     Arti dan tujuan perkawinan dalam hukm adat............................................................................4
B.     Sistem Perkawinan Adat.............................................................................................................4
C.     Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat.......................................................................5
D.     Perceraian dan Akibatnya...........................................................................................................6
E.      Fungsi Harta Perkawinan............................................................................................................8
F.      Pemisahan Harta Perkawinan.....................................................................................................8
G.     Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami-Istri Dalam Perkawinan.........................9
BAB III WARIS
A.     Pengertian hukum waris.............................................................................................................9
B.     Harta Peniggalan Yang Tak Dapat Dibagi-Bagi......................................................................10
C.     Penghibahan (Pewarisan) Dan Hibah Wasiat...........................................................................10
D.     Harta keluarga marga yang merupakan harta peniggalan.........................................................11
E.      Pembagian harta peninggalan...................................................................................................11
F.      Para ahli waris...........................................................................................................................11




BAB II
HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
A.       Keturunan
Di indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan :
1.        Masyarakat Keibuan,
Misalnya, Minangkabau (masyarakat yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu). Suatu sistem kemasyarakatan di mana seseorang menarik garis keturunan melalui ibu, terus ke atas ke ibu dari ibu dan seterusnya sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa ada seorang ibu asal. Kepercayaan inilah menjadi suatu prinsip.
Di dalam segenap sistem ini, ibulah yang berkuasa atas harta benda atas pendidikan dan keserasian dalam masalah keluarga. Satu-satunya cara mempertahankan sistem sosial ini hanya dengan exogami. Ciri khas kawin bertandang adalah tidak adanya haerta bersama, karena tidak ada hidup bersama, hidup rukun bersatu di dalam satu rumah tangga.


2.        Masyarakat Kebapakan Patrilineal
Misalnya, Batak (masyarakat dengan garis keturunan bapak) yang kedua-duanya tercakup dalam pengertian unilateral, yaitu menarik garis keturunan melalui satu pihak saja. Hal ini merupakan suatu prinsip, suatu kepercayaan yang bersifat magis religius dan atas prinsip ini, sistem perkawinan adalah eksogami jujur.
Sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak yaitu kawin jujur  ini berarti suatu keharusan laki-laki dan perempuan yang berlainan klan, dengan pemberian barang yang bersifat magis religius. Perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam anggota klan suaminya.
Dengan pengertian pemberian, yaitu melambangkan hasrat, atau keinginan secara hukum adat, sebagai pengganti kedudukan wanita itu di dalam klannya.
3.        Masyarakat Bilateral atau Parental,
Menurut prof. Dr. Hazairin untuk menunjukkan kepada sistem kemasyarakatan atau sistem penarik melalui ibu dan bapak, sama nilai dan sama derajat.
Terbagi dalam dua kategori :
a.       Bilateral seperti di Jawa, yaitu yang terhimpun dalam kesatuan-kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gezin.
b.      Bilateral seperti di Kalimantan/Dayak, yaitu sistem bilateral yang terhimpun dalam unit-unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut tribe, rumpun atau kelompok.

B.       Hubungan Anak Dengan Orang Tua Dan Kerabat
Istilah orang tua secara sempit dapat diartikan sebagai orang tua suami-istri, yaitu ibu dan ayah dari anak-anak. Dan istilah orang tua dalam arti luas mencakup saudara-saudara sekandung ayah menurut garis lelaki atau saudara-saudara sekandung ibu menurut garis wanita, yang ikut bertanggung jawab terhadap anak kemenakan. Jadi mengenai kedudukan suami-istri dilihat dari susunan masyarakat kekerabatan yang bersangkutan.
Kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anak tidak hanya terbatas sampai anak kawin dan dapat hidup mandiri, tetapi juga kalu diperlukan walaupun mereka sudah kawin dan hidup mandiri masih tetap diberikan bimbingan.
Hak dan kewajiban suami-istri sebagai oratng tua terhadap ank-anak mereka adalah seimabng menurut kedudukan dan tanggung jawab masing-masing dalam keluarga/ruamah tangga. Rasa cinta saling hormat menghormati, kesetiaan dan saling bantu membnatu di dalam kehidupan.
Orang tua sebagai suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan ruamh tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-undang nomor 1 tahun 1974). Jadi walaupun ada orang tua yang melalaikan kewajibannya, maka tanggung jawab akan dengan sendirinya beralih kepada orang tua yang lain menurut urutan kedudukan orang tua dan hubungan kekerabatan yang bersangkuta.
C.       Memelihara Dan Mengangkat Anak Dari Keluarga Atau Dari Orang Lain
1.      Pemeliharaan Anak
Apabila di dalam keluarga salah satu dari kedua orang tua meninggal, maka yang lain berkewajiban meneruskan mendidik anak-anaknya sampai dewasa. Bila dalam hal ini timbul kesukaran-kesukaran atau bilaman tiada yang cakap, maka di jawa dan madura untuk diangkat seorang wali oleh pengadilan sebagaimana tercantum dalam bab II Ordonantie 31 Januari 1931 Stbl nomor 53.
Dalam penelitian di Minangkabau Ter Har menemukan anak-anak tetap berada di bawah kekuasaan kerabat ibunya (yang mati), bapaknya kan memperdulikan sedemikian rupa sepanjang keadaan senyatanya mengijinkan.
Di kalangan orang-orang Batak, begitu juga di Bali, isteri yang ditinggal mati suaminya tetap sebagai pendidik anak-anaknya tinggal dalam kerabat bapaknya. Bila kedua orang tua meninggal dunia, maka kekuasaan atas anak-anak baik pemeliharaan dirinya maupun barang-barangnya, berpindah kepada kepala-kepal kerabat atau tetua seluruhnya (berhubungan denag perkawinan orang tuanya).
2.    Pengambilan Anak Atau Pengangkatan Anak
Memungut seorang anak, dari luar kerabat yang menyebabkan anak tersebut memiliki status sosial, seperti sanak saudara biologis, adalah biasa dilakukan di Nusantara ini. Perbuatan hukum ini dala bahasa Belanda disebut Adoptie (mengambil anak/mengangkat anak).
Apa yang disebut Adoptie dalam hukum adat sebetulnya adalah perjanjian pelihara (Ver Zorgings Kontrackt). Dalam perjanjian ini pihak yang satu (pemelihara) atau Zorggever, menanggungkan nafkah pihak yang lain (terpelihara) atau Zorgtrekker lebih-lebih selama masa tuannya. Zorggever juga menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sebagai imbalan/balasannya.
Di Jawa, anak angkat tetap berhak atas warisan orang tua kandungnya. Memungut anak perempuan bisa juga bertujuan untuk memberi kesempatan kepada seorang anak laki-laki agar dapat menempuh perkawinan dengan anak-anak saudaranya secara timbal balik (cross cossin huwerlijk) seperti harapan. Demikian adopsi anak di Sumba bertujuan untuk kemungkinan suatu perkawinan dengan seorang pemuda dari berhukum bapak (kabisu) yang lain.
D.       Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Akibat hukum dari pengangkatan anak adalah bahwa kedudukan anak angkat demikian menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya. Dan anak angkat tidak lagi mewarisi dari orang tua kandungnya, kecuali apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak laki lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari orang ayah bersaudara. Sebab kebanyakan pengangkatan anak diambil dari saudara atau kemenakannya sendiri.
Di daerah Sumatera Selatan atau Lampung pesisir, keluarga yang hanya mempunyai anak lelaki, dapat mengangkat anak wanita orang lain dengan tujuan untuk dijadikan penerus dan pewaris orang tua angkatnya.
Di daerah Rejang, Bengkulu, anak tiri bwaan istri dapat menjadi anak angkat dari suami dengan tujuan agar si anak dapat menjadi penerus dan pewaris dari ayah tirinya. Akan tetapi pengangkatan tersebut baru ditetapkan setelah si ayah tirinya meninggal dunia.
Di daerah Batak terdapat pengangkatan anak untuk sekedar menjadi warga adat, sehari-hari tidak berakibat anak angkta mendapat warisan dari orang tua angkat.
Sejenis dengan itu dikenal dengan adanya istilah anak akuan, anak pungut, atu anak pupon, yaitu anak orang lain yang diakui orang tua yang mengakui karena belas kasihan. Ada kasus dimana keluarga tersebut belum mempunyai anak, kemudian mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai anak “panutan”, yang dimaksud sebagai anak pancingan agar bisa mendapatkan keturunan.
Kedudukan anak akuan bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak tidak mengubah hubunagan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya. Kecuali apabila kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat.
Sejenis dengan anak angkat juga ada yang dinamakan anak piara, yang disebut dengan anak titipan. Anak titipan adalah anak yang diserahkan oleh orang lain untuk dipelihara, sehingga orang yang menerima titipan merasa berkewajibanuntuk memelihara anak itu, dilakukan di dalam lingkungan kerabat. Jadi pada dasarnya status hukum dari anak itu tidak mengubah anak tersebut menjadi anak angkat.
Hubungan hukum antara anak dengan orang tua yang menitipkan tidak berubah, dan status hukumnya tetap menjadi waris bagi orang tua kandungnya. Hanya saja orang yang dititipi minta ganti rugi atas penggantian biaya pemeliharaan tadi, kecuali anak tersebut yatim piatu dll. Tujuannya bukan memperoleh keuntungan, tetapi untuk kemanusiaan
BAB III
HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A.       Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan hukum adat menurut Ter Haar adalah merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain di dalam hubungan yang beraneka ragam.
Perkawinan adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, yaitu melahirkan angkatan baru yang meneruskan golongan itu.
Akan tetapi walaupun merupakan urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, perkawinan itu senantiasa juga merupakan urusan hidup perseorangan, baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan orang-orang yang disegani.
B.       Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapa berlangsung dengan 3 sistem, pertama sistem Endogami kedua sistem Exogami dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Dan ketiga Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum islam.
Di lingkungan masyarakat batak, terutama yang beragama kristen, masih mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asymentrich connibus. Sistem perkawinan yang dianut adalah exogami.
Pada sistem perkawinan endogami, pria diharuskan mencari calon istri dalam lingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat.
Dalam perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak mempertahankan sistem perkawinan exogami dan endogami, tetapi ada beberapa daerah yang masih mempertahankan sistem perkawinan tersebut.
C.       Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat
Perkawinan Hetherogami merupakan pengaruh dari hukum perkawinan islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon istri  diluar atau di dalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyrahah) sebagaimana ditentukan oleh hukum islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Orang tua masih menginginkan agar dalam  mencari jodoh, anak-anak mereka harus memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku dalam masyrakat jawa ialah harus mengenal bibit, bobot dan bebet. Bibit dalam artian nasab atau keturunan, bobot dalam artian harta kekayaanya dan ilmu pengetahuannya dan bebet dalam artian pekerjaan ataupun jabatan dan martabat yang baik dan lain sebagainya.
Perkawinan bermadu, dimana seorang pria mempunya lebih dari satu istri. Hal ini disahkan menurut agama islam berdasarkan ayat Al Quran surat An Nisa’ ayat 3. Dengan berlakunya UU no 1 thn 1974, ketentuan Al Quran itu disalurkan ke dalam pasal 3 yang menyatakan:
1.      Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunya seorang suami.
2.      Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat ialah:
1.      Membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekrabatan yag rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.       Selain harus sah menurut agama dan atau kepercayaan juga aharus mendapat pengakuan dari pada anggota kerabat.
3.      Seoarang pria dapat kawin dengan bebrapa wanita sebagai istri yang kedudukan masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.      Harus berdasarkan atas persetujuan arang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui mayarakat adat.
5.      Dapat dilakukan bagi pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak begitu juga walaupun sudah cukup umur dan berdasarkan atas ijin orang tua atau kerabat.
6.      Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak boleh.
7.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasar ketentuan hukum adat yang berlaku.
D.       Perceraian dan Akibatnya
1.      Perceraian
Perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum agama adalan perbuatan tercela. Bagi masyarakat batak dan lampung, persecaraian berarti putusnya atau renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan. Perceraian menurut islam adalah perbuatan yang dibenci Allah.
Didalam penjelasan pasal 39 UU no 1 thn 1974, dikatan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a.       Salah satu berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagianya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu meninggalkan yang lainya selama 2 tahun berturut-turut tanpa adanya kabar.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat.
d.      Salah satu melakukan kekejaman pada pihak lain.
e.       Salah satu menderita cacat atau penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan istri terjadi perselisihan yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.
2.      Akibat-akibat Perceraian
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal 38 UU no 1 thn 1974. 
Dalam hukum adat, pada umumnya tidak tidak ada kesamaan mengenai akibat putusnya perkawinan itu terhadap anak-anak, kekerabatan dan harta kekayaan perkawinan.
1)      Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a.       Di lingkungan masyarakat patrilineal
Di masyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus perkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada dalam kekrabatan suami, anak-anak itu adalah waris dari ayahnya.
Bila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka penyelesaianya dilakukan oleh kerabat kedua belah pihak, dan kerabat yang lebih menentukan adalah kerabat pihak suami.
b.      Di lingkungan masyarakat matrilineal
Sebaliknya pada masyarakat matrilineal ini anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Andaikata terjadi perceraian, si suami pergi meninggalkan tempat kediaman istri, maka ia tidak berhak menguasai anak-anaknya.
 Bisa terjadi si anak ikut bersama ayahnya, jika perkawinan ayah ibunya semula adalah berbentuk semenda. Tetapi pada dasarnya si anak tetap berkedudukan di pihak ibu dan kerabat ibunya tidak di pihak ayahnya. Lain halnya perkawinan semenda raja-raja, jika terjadi perceraian, maka kedudukan dan hak waris anak dapat dipisah, yang satu meneruskan pihak ibu.
c.       Di lingkungan masyarakat bilateral
Dalam hal ini anak-anak berkedudukan tergantung pada keadaan. Seharusnya anak-anak dibagi di antara yang mengikuti pihak suami dan pihak istri. Biasanya jika putusnya perkawinan akibat perceraian, anak-anak yang sudah basar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
Didalam susunan masyarakat kekerabatan, baik menurut garis kebapakan atau keibuan apabila terjadi putusnya, perkawinan maka nasib anak yang ditinggalkan akan dan harus ditampung oleh kerabat ayah atau kerabat ibunya, menurut urutan pertanggungan jawab dalam adat kekerabatan yang bersangkutan.
2)      Akibat bagi harta perkawinan
a.       Di lingkungan masyarakat patrilineal
     Bila terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali yang merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri dan maskawin atau pemberian suami ketika pelaksanaan perkawinan.
b.      Di lingkungan masyarakat matrilineal
Pada masyarakat ini yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat istri. Walaupun demikian, pada masyarakat di mana terdapat keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya, atau hidup bermata pencarian tanpa ikatan dengan harta peninggalan (harta pusaka), maka jika terjadi perceraian maka pembagian atas harta pencaharian, apabila peranan kedua suami istri dalam usaha mereka bermata pencaharian itu berimbang.
c.       Di lingkungan masyarakat parental/bilateral
Jika ada perceraian maka akibat bagi harta perkawinan adalah.
1.      Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya ke dalam perkawinan.
2.      Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang menghasilkan.
3.      Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
Pembagian harta tersebut harus dilihat dari kepentingan anak dan kepda siapa pemeliharaan dan pendidikan si anak diserahkan.
E.       Fungsi Harta Perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud harta perkawinan adalah harta yang dikuasai suami istri. Selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta perhiasan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Hata perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri dan anak-anaknya dalam serumah dan dalam rumah tangga kecil dan rumah tangga keluarga besar.
     Harta perkawinan dapat digolongkan kedalam beberapa macam:
1.      Harta yang dikuasai oleh suami atau istri sebelum nikah ( barang bawaan)
2.      Harta yang dikuasai oleh suami atau istri setelah nikah (harta penghasilan)
3.      Harta yang dikuasai oleh suami atau istri bersama-sama (harta pencarian)
4.      Harta yang dikuasai oleh suami atau istri bersama ketika upacara perkawin (hadiah perkawinan)
F.        Pemisahan Harta Perkawinan
Harta perkawinan itu digolonglkan kedalam 4 macam.
1.      Harta Bawaan
Harta bawaan ini dapat kita bedakan antara bawaan suami dan harta bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu:
a.       Harta peniggalan
b.      Harta warisan
c.       Harta hibah/wasiat
d.      Harta pemberian/hadiah
2.      Harta penghasilan (perseorangan)
Sebelum adanya perkawinan suami atau istri adakalanya telah menguasai atau memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat dari hasil usaha sendiri, termasuk hutang piutang perseorangannya.
Harta kekayaan penghasilan suami di sumatra selatan sebelum perkawinan disebut barang pembujangan, sedangkan harta istri sebelum perkawinan disebut harta penantian.
Di jawa barat, dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin, maka hasil suatu harta kekayaan hasil pencarian istri adalah hak milik istri itu, meskipun suami telah bersusah payah membantu istrinya.
Sebaliknya di daerah jawa tengan jika suami yang kaya dan istri yang miskin. Semua hasil pencarian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami sendiri meskipun istri bersussah payah membantu suami, istri hanya mendapatkan pemberian suami atas dasar belas kasih.
3.      Harta pencarian (bersama)
Harta yang diperoleh dari usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal mereka berusaha dan mencari rezeki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.
4.      Hadiah Perkawinan
Segala harta pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan, baik yang berasal dari pemberian para anggita kerabat. Tettapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu maka hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita dan yang diterima oleh kedua mempelai tersebut ketika upacara perkawinan.
G.      Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami-Istri Dalam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam perkawinan tergantung siapa yang memperolehnya. Andaikata jika harta tersebut diperoleh oleh suami dan istri dengan bersama-sama, maka harta tersebut menjadi milik bersama.
Bab IV
WARIS
A.       Pengertian hukum waris
1.      Pengertian
Pengertian hukum waris adat adalah memuat garis-garis ketentuan sistem sistem asas-asas waris tentang harta warisan/hukum penerusan harta kekayaan darib satu generasi kepada keturunnnya.
Ø  Menurut ter haar adalah, aturan-aturan hukummengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun tidak dan dari antar generasi.
Ø  Menurut soepomo adalah, peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak berwujud benda/immaterial goenderen dari satu generasi pada keturunannya.
Mr wirjono projodikoro, waris adalah tentang apa dan bagaimana hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu dia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup. Sesungguhnya arti waris adalah disudutkan pada hukum islam atau dari KUHPerdata/BW.
2.      Sifat hukum waris
Sifat hukum waris, yaitu mempunyai corak dan sifat tersendiri dibanding dengan KUHPerdata. Harta warisan adat terdiri ari harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi antara penguasaan dan pemiliknya. Harta warisan yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, dan tidak boleh dimiliki secara perorangan melainkan hanya memiliki secara hak pakai saja. Hukum waris adat tidak mengenal legitieme porttie/bagian mutlak sebagaimana hukum waris BW. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan diberikan pada para waris sebagaimana dalam KUHPerdata pasal 1066 dan hukum islam.
B.       Harta Peniggalan Yang Tak Dapat Dibagi-Bagi
Harta peninggalan yang tak dapat dibagi, sistem hukum adat menjelaskan larangan pembagian harta warisan yang menghendaki bahwa harta tersebut merupakan harta turun temurun, tidak boleh dimiliki seseorang atau disebut dengan harta bersama/kolektif karena setiap anak yang lahir adalah pemilik/harta pusaka (rumah, tanah, kebun serta sawah dan ternak). Seperti halnya diminangkabau bila yang meninggal mempunyai harta sawah maka sawah tersebut bukan sebagai sawah perorangan melainkan sebagai milik bersama oleh ahli warisnya.
Beberapa bentuk bahwa warisan tidak dapat dibagi-bagi dikarenakan:
·         sebab wujud dan sifat sebagai atribut kesatuan ahi waris/kekerabatan adat.
·         Wujud dan sifat sebagai milik bersama suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengiat persatuan keluarga.
·         Maksud dan tujuan untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota dan menjadikannya sebagai kediaman.
C.       Penghibahan (Pewarisan) Dan Hibah Wasiat
Penghibahan/pewarisan dan hibah wasiat, perbuatan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah terhadap seorang anak yang berhak atas tanah warisan. Tentang tanah yang kembali jatuh pada si penghibah bilamana orang yang dihibahi meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak sebagau pemberlakuan aturan-aturan hukum waris atau barang asal. Hibah wasiat dapat dilakukan ketika seorang penghibah masih hidup dengan cara orang yang menghibahkan berpesan agar sebagian tertentu dari kekayaan yang ada diperuntukkan bagi salah satu dari ahli waris sejak saat matinya si peninggal wartisan kelak. Ada dua corak dalam hibah wasiat, yaitu:
a)      Mereka yang menerima barang-barang harta, isteri dan anak-anak yang disebabkanpewarisan hibah wasiat hanya merupakan perpindahan /verschuiving harta benda dalam lingkungan ahli waris.
b)      Dalam penetapan barang mana yang akan diberikan pada setiap masing-masing anak atau kepada istri adalah bebas.
D.       Harta keluarga marga yang merupakan harta peniggalan
Harta keluarga marga yang merupakan harta peninggalan, jika seorang suami dalam suatu keluarga telah meninggal dan anak sudah dalam keadaan mandiri/ekonomi mapan  maka seorang isteri memiliki hak istimewa yaitu menguasai rumah serta berhak memegang harta benda yang ditinggalkan suami
E.       Pembagian harta peninggalan
Pembagian harta peninggalan, dapat dilakukan ketika urusan yang sebagai kewajiban yang meninggal sudah terselesaikan, yang biasanya dilakukan oleh ahli waris bersama dan tdak sesuai dengan ketentuan yang ada, melainkan dengan kebaikan hati yang diberikan kepada paling kurangberuntung nasibnya.
Suatupembagian waris yang tidak ada kesepakatan antara ahli waris  untuk dibagikan atau tidak maka perkara dapat diajukan lewat hakim dusun/dorpsechter atau hakim jabatan/bereopsrechter agar memperoleh peenyelesaian.
F.        Para ahli waris
Para ahli waris, adalah semua orang yang akan menerima penerusan dan pembagian warisan baik ahli waris maupun bukan. Pada umumnya yang berhak mewaris adalah anak termasuk yang masih dalam kandungan jika lahir tetap hidup. Adapun yang tigak dapat aris adalah anak tiri, anak angkat, anak piara, waris baku, kemenakan dan waris pengganti/ cucu ayah ibu.
Perbedaan golongan mewarisi dalam tiap daerah berbeda-beda antara lain:
1.      Anak kandung (anak dalam perkawinan yang sah), jika diluar perkawinan tidak dapat. Terdiri dari:
v  Anak sah (anak dari dalam perkawinan yang sah sesuai agamanya).
v  Anak tidak sah, hanya punya hubungan perdata dengan ibu.
v  Waris anak laki-laki, sistem patrilineal dan perkawian jujur. Dibatak, bali, lampung, nafri(jaya pura).
v  Waris anak perempuan, sistem matrilineal/perkawinan semenda. Jika tidak punya anak perempuan maka salah satu dar anak leleki diambilkan dari istri/semendo ngangkit.
v  Wanita anak laki-laki dan perempuan,sistem parental yang  memiliki hak yang sama, di jawa kalimantan dan minahasa.
v  Waris anak sulung, menghargai karena sebagai pengganti orang tua namun jika masih kecil maka dipertanggung jawabkan pada kakek dan neneknya.
v  Anak sulung pria, sebagai penanggung jawab/kepala keluarga. Di lampung adat pepandun, bali.
v  Anak sulung wanita,sebagai penunggu harta peninggalan orang tuaatunggu tubang. Di sumatra selatan adat semando.
v  Waris anak pangkalan dan anak bungsu, sebagai orang pertama dan kedua mengurus kepala keluarga. Kalimantan adat dayak.
2.      Anak tiri dan anak angkat, berdasar keputusan landraad purworejo 17 agustus 1937 tidak berhak dalam mewarisi harta bapak tiri tetapi mendapat penghasilan harta penghasilan bapak tiri kepada ibu sebagai nafkah janda.
v  Anak tiri, tidak dapaat mewarisi namun ikut menikmati kesejahteraan bersama bapak/ibu tiri dan saudara tiri. Di lampung selatan perkawinan levirat(istri dari kakak yang wafat dikawini adiknya).
v  Anak angkat, mendapat waris sesuai kehendak bapak/ibu tiri.
v  Anak angkat mewarisi, anak angkat tegak tegi keturunan penerus bapak angkat/bertanggung jawab atas harta bapak angkat dan berhak sebagai waris jika sudah diresmikan dengan upacara adat.
3.      Waris balu janda/duda, yang antara mewarisi atau tidak ditentukan oleh sistem kekerabatan dan perkawinan yang dianut.
v  Balu sistem patrilneal, dengan perkawinan jujur maka janda boleh tetap menikmati harta suami sampai akhir hayatnya jika tidak melangsungkan perkawinan dengan yan lainnya. Di batak, lampung, bali.
v  Balu sistem matrilineal, dengan perkawinan semenda/mengawini saudara istri jika tidak harta diurus oleh mamak dari istri. Di minangkabau.
v  Balu sistem parental, mendapat harta bersama dan berhak menguasai, menikmati mengatur dan membagi mengatur harta waris.
4.      Para waris lainnya, terdapat beberapa garis-garis lingkungan yaitu, garis kebapakan(anak laki-laki dan keturunan laki kebawah), garis keibuan(kaum wanita, anak wanita da n keturunan wanitanya), garis campuran kebapakan dan keibuan dengan sistem waris individual (pria dan wanita sama-sama mewarisi dengan pertalian darah dan hubungan keluarga dengan pewaris)


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel